Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, para pekerja rumah tangga (PRT) perempuan berkumpul di depan Gedung DPR sejak Selasa pagi (8/3). Mereka melakukan aksi "1000 Perempuan Mencari Mbak Puan" untuk menuntut Ketua DPR Puan Maharani agar segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah mangkrak selama 19 tahun. Aksi ini diinisiasi oleh Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) beserta dengan berbagai organisasi masyarakat sipil.
Para massa aksi yang berkumpul di depan Gedung DPR membawa baliho dan poster yang bertuliskan tuntutan-tuntutan mereka. Seperti "Mbak Puan urus negara saja untuk cuci baju biar kami PRT yang urus", "Yth. DPR, 19 tahun RUU PPRT masihkah butuh korban bertambah lagi?" dan "#SahkanRUUPRT".
"Apa yang membedakan PRT dengan kami-kami yang bekerja di pabrik? Kami yang bekerja di pabrik juga mengerahkan tenaganya dari pagi sampai sore. Teman-teman PRT juga bekerja dari pagi sampai sore. Kawan-kawan juga bekerja menggunakan tenaga, menghabiskan waktu, memakai pikirannya, memakai instingnya, untuk melancarkan semua pekerjaan-pekerjaan kita!" Seruan tersebut datang dari salah satu buruh perempuan yang ikut dalam aksi.
Aksi ini memang tidak hanya dihadiri oleh para pekerja rumah tangga, tapi juga oleh buruh perempuan dan aktivis perempuan yang bersolidaritas dengan para PRT. Dengan adanya RUU PPRT, para pekerja rumah tangga akan diakui sebagai pekerja dan mendapatkan hak yang sama seperti pekerja lainnya.
RUU PPRT sendiri mengatur beberapa hal, di antaranya yaitu waktu kerja, lingkup pekerjaan, batas usia kerja, dan hubungan kerja. Meski sudah diperjuangkan selama 19 tahun, tapi RUU PPRT masih berada di tahap pembahasan dan tak kunjung disahkan.
Spanduk aksi "1000 Perempuan Mencari Mbak Puan"/ Foto: Anastasya Lavenia |
Realita Pekerja Rumah Tangga
Menurut International Labour Organization, 75% pekerja rumah tangga di Indonesia adalah perempuan dan 25% di antaranya berusia di bawah 18 tahun. Sayangnya, hingga hari ini masih banyak di antara mereka yang harus menghadapi kondisi kerja tidak layak; mereka tidak dihargai, digaji rendah, dan tidak memiliki perlindungan hukum yang pasti. Salah satu faktor yang membuat PRT berada di posisi rentan ialah ikatan kekeluargaan yang dibangun di tempat kerja oleh para atasan.
Di satu sisi, PRT diperlakukan seperti keluarga. Namun di sisi lain, ikatan kekeluargaan ini mengaburkan status mereka sebagai pekerja. Ditambah lagi, kerja-kerja yang dilakukan oleh PRT berada di ranah domestik, sehingga apa yang mereka alami kerap kali tidak terlihat oleh mata publik.
Minimnya perhatian yang diberikan pemerintah untuk kesejahteraan PRT mendorong Jala PRT untuk terus mengadvokasi hak-hak pekerja rumah tangga, salah satunya dengan memberikan bantuan hukum kepada PRT yang diperlakukan secara tidak adil. Jala PRT sendiri menaungi beberapa Serikat Pekerja Rumah Tangga yang tersebar di Indonesia, beberapa di antaranya adalah SPRT Sapulidi di Jakarta, SPRT Merdeka di Semarang, dan SPRT Tunas Mulia di Yogyakarta. Dengan berserikat, para pekerja rumah tangga bisa memiliki kesadaran atas hak-hak mereka sebagai pekerja yang selama ini belum terpenuhi.
Urgensi untuk berserikat kian besar di kala perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga tak kunjung disahkan. Hal ini diungkapkan oleh Yuni, salah satu anggota SPRT Sapulidi yang ikut dalam aksi. Ia mengaku kesadarannya sebagai pekerja semakin kuat setelah bergabung dengan SPRT Sapulidi, salah satunya karena ia diajarkan bagaimana caranya bernegosiasi dengan majikan.
"Bagi saya pribadi setelah saya ikut berserikat saya menjadi lebih sadar mengenai hak-hak pekerja rumah tangga. Saya juga akhirnya tahu kalau PRT itu dilindungi oleh hukum tapi RUU-nya sudah 19 tahun mangkrak," ucap Yuni kepada CXO Media.
Poster "Sahkan RUU PPRT"/ Foto: Anastasya Lavenia |
Solidaritas Lintas Kelompok
Aksi ini tidak hanya dihadiri oleh para pekerja rumah tangga, tapi juga oleh kawan-kawan perempuan dan transpuan yang ikut mendukung agar RUU segera disahkan. Dukungan tak hanya diberikan lewat spanduk dan orasi, tapi juga diberikan dalam bentuk doa. Suster Cecilia dari Paroki Halim yang turut hadir dalam aksi mengatakan bahwa pada hari Senin malam beberapa organisasi Gereja Katolik berkumpul lewat Zoom untuk melakukan doa bersama. Mereka mendukung penuh agar RUU PPRT segera disahkan.
"Dengan berkembangnya isu ini, harapannya adalah agar tenaga kerja perempuan tidak lagi disebut sebagai pembantu rumah tangga, tapi sebagai pekerja rumah tangga. Jadi saya hadir di sini hari ini, saya sangat mendukung dan saya sendiri juga mewakili suster-suster yang lain. Semoga Undang-Undang ini bisa segera ditandatangani, diresmikan, jadi sah pekerja rumah tangga itu berada di dalam naungan hukum di negara kita sendiri," ucap Suster Cecilia.
Selain Suster Cecilia, ada juga Ico dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia yang bergabung dengan massa aksi. Ia datang untuk bersolidaritas dengan sesama pekerja perempuan. "Pemerintah mengkotak-kotakkan kita sebagai pekerja yang berkerah putih dan berkerah biru, sebenarnya yang namanya pekerja adalah pekerja yang melakukan sesuatu dengan upah dan dengan perintah. Jadi sebaiknya kita bersolidaritas di manapun kelas pekerja itu berada," ucap Ico.
Ico juga mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak kunjung mengesahkan RUU PPRT, lantaran 19 tahun sudah terlampau lama bagi teman-teman PRT yang membutuhkan perlindungan hukum. Ia lantas membandingkan RUU ini dengan kasus Ferdy Sambo yang cepat sekali ditangani. Menurutnya, meski kasus Ferdy Sambo juga melibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia, tapi masih ada banyak kasus pelanggaran HAM lainnya yang membutuhkan perhatian pemerintah segera-salah satunya pemenuhan hak pekerja rumah tangga.
Keresahan yang diungkapkan Ico adalah keresahan kita semua. Mengapa butuh waktu begitu lama untuk mengesahkan RUU ini? Selama RUU PPRT tidak kunjung disahkan, selama itu juga para pekerja rumah tangga akan berada di posisi rentan tanpa adanya perlindungan yang pasti.
(ANL/DIR)