Tahun 2011, perdana menteri Inggris David Cameron meminta anggota dari partai oposisi Angela Eagle untuk menenangkan diri. "Calm down, dear" ucapnya di sela-sela perdebatan yang terjadi di Gedung parlemen. Partai oposisi pun langsung meminta David Cameron untuk meminta maaf kepada Angela, karena ucapannya dinilai arogan dan seksis. Memang, perempuan kerap dicap "lebih emosional" dibandingkan laki-laki. Sehingga ketika mereka menangis, marah, atau mengekspresikan emosi, respons pertama yang diutarakan adalah meminta mereka untuk tenang.
Sejak kecil, kita selalu diajarkan bahwa laki-laki berpikir menggunakan logika, sedangkan perempuan berpikir menggunakan hati. Setiap kali perempuan menunjukkan emosi, mereka dinilai irasional dan tidak bisa berpikir secara jernih. Tapi peristiwa yang terjadi belakangan justru menunjukkan sebaliknya. Misalnya, kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy membuktikan bahwa laki-laki juga bisa bertindak—bahkan melanggar hukum—karena dipicu oleh emosi. Jadi, adakah kebenaran dalam mitos perempuan lebih emosional ketimbang laki-laki?
Emosi Perempuan dan Laki-Laki Tidak Jauh Berbeda
Hormon kerap menjadi basis saintifik di balik klaim bahwa perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki. Namun sains justru berkata sebaliknya. Sebuah penelitian yang diterbitkan Scientific Reports menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara emosi perempuan dan laki-laki. Selama 75 hari, para peneliti mengamati 142 partisipan yang yang terdiri dari laki-laki, perempuan yang sedang menstruasi, dan perempuan yang sedang mengonsumsi pil kontrasepsi.
Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa emosi laki-laki juga fluktuatif seperti emosi perempuan. Selain itu, tak ada perbedaan rentang emosional antara perempuan yang mengkonsumsi pil kontrasepsi dengan perempuan yang sedang menstruasi. Sehingga, tidak ada indikasi bahwa hormon dari ovarium berkorelasi dengan kestabilan emosi.
"Ketika laki-laki bereaksi secara emosional di acara pertandingan olahraga, mereka dikatakan passionate. Namun ketika perempuan menunjukkan emosi, meskipun ia yang diprovokasi terlebih dahulu, mereka dikatakan irasional," ucap Adriene Beltz, salah satu peneliti yang terlibat dalam studi tersebut. Pada akhirnya, penelitian yang dilakukan Adriene dan timnya telah mematahkan stereotip tersebut.
Konsekuensi Label "Emosional"
Stereotip "perempuan emosional" memiliki konsekuensi nyata di kehidupan nyata. Salah satu dampaknya yang bisa kita lihat di kehidupan nyata adalah perempuan dinilai tak kompeten dalam menjadi pemimpin perusahaan, politisi, atau posisi lainnya yang menuntut mereka untuk mengambil keputusan sulit dan tampil di depan publik. Hal ini didukung oleh penelitian yang diterbitkan dalam Psychology of Women Quarterly.
Penelitian tersebut menemukan bahwa ketika perempuan dicap "emosional" atau diminta untuk "menenangkan diri", maka pendapat mereka pun akan dipandang kurang valid oleh orang-orang di sekitar mereka. Dengan kata lain, label "emosional" ini mendelegitimasi dan melemahkan kredibilitas perempuan di mata publik.
Padahal, nyatanya sudah ada banyak sosok perempuan yang mematahkan stereotip tersebut. Salah satu contoh konkretnya adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah beberapa kali menunjukkan ketegasan terhadap jajaran staf di institusi yang ia pimpin. Beberapa tahun yang lalu, Sri Mulyani tidak ragu untuk menegur bawahannya di depan umum lantaran melempar candaan yang seksis. Lalu baru-baru ini, Sri Mulyani dikabarkan akan melakukan reformasi besar-besaran di Kementerian Keuangan pasca kekayaan tak wajar Rafael Alun Trisambodo terungkap ke publik. Hal ini membuktikan, bahwa pemimpin perempuan bisa bersikap tegas ketika dibutuhkan.
Pada akhirnya, gender bukanlah penentu seberapa emosional seseorang. Jadi sudah sebaiknya kita berhenti melanggengkan mitos bahwa perempuan lebih emosional dan ketimbang laki-laki.
(ANL/alm)