Tua di jalan sepertinya sudah menjadi nasib yang diterima oleh para pekerja Jakarta. Jakarta menampung banyak manusia, termasuk para penduduk dari kota-kota pinggiran seperti Depok dan Bogor yang sehari-hari mencari nafkah di ibukota. Walhasil, setiap hari para pekerja ini harus berjubel-jubel di transportasi umum atau terjebak di kemacetan yang panjang.
Menurut data BPS tahun 2019, dari 29 juta penduduk Jabodetabek, 11 persen di antaranya merupakan penduduk komuter. Artinya, ada sekitar lebih dari 3 juta penduduk Jabodetabek yang setiap hari melakukan commuting. Dan dari 3 juta penduduk ini, sebagian besarnya merupakan pekerja. Bagi mereka yang tinggal di kota satelit, mereka harus mengeluarkan waktu dan tenaga ekstra untuk menempuh perjalanan yang jauh dan memakan waktu.
Rata-rata dari mereka harus menghabiskan waktu 2 jam per hari untuk perjalanan pulang-pergi dari rumah menuju tempat kerja. Durasi ini jauh lebih lama dibandingkan rata-rata waktu commute di negara lain seperti Inggris dan Amerika Serikat, di mana mayoritas pekerjanya menghabiskan waktu 1 jam per hari untuk perjalanan mereka. Tak jarang, commuting membuat mereka harus berangkat dari subuh dan baru bisa tiba di rumah lewat jam 8 malam.
Meski telah terbiasa, tapi kondisi ini membuat banyak pekerja kelelahan, bahkan rentan mengalami stres. CXO Media akhirnya berbincang-bincang dengan beberapa pekerja komuter untuk mengetahui pengalaman mereka.
Bersiasat dengan Transportasi Umum
Salah satu pekerja yang memilih untuk naik transportasi umum adalah Rifki yang berprofesi sebagai digital content creative. Ia memilih untuk menggunakan Transjakarta sebagai moda transportasi menuju kantor dari rumahnya di daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Ia sendiri baru memilih Transjakarta sebagai moda transportasi setelah mengetahui ada halte untuk bus pengumpan di dekat rumahnya. Setiap hari, ia menghabiskan total 2 hingga 2,5 jam untuk perjalanan pulang pergi Ciputat-Jakarta Selatan.
Ia mengaku memilih transportasi umum agar karena tiga alasan. Pertama, ia bisa menghemat ongkos. Kedua, naik transportasi umum membuatnya bisa beristirahat di sepanjang jalan. Ketiga, bertemu dan mengobrol dengan orang-orang yang ia temui di transportasi umum membuatnya memiliki energi ekstra untuk menjalani hari di tempat kerja. "Biasanya kalo gue gak berangkat pake angkutan umum dan gak ngobrol sama orang, gue berasa banget di kantor tuh gue layu, gue diem dulu dan gak bisa langsung nyapa orang," ucapnya kepada CXO Media.
Rifki adalah salah satu dari warga Bodetabek yang beruntung, sebab masih ada banyak daerah yang belum tersentuh oleh fasilitas transportasi umum. Pun kalau ada, belum tentu transportasi umum itu bisa membuat mereka menghemat waktu. Nyatanya, jadwal transportasi umum yang sering telat dan banyaknya rute yang mengharuskan penumpang untuk transit justru terkadang membuat penumpang harus menghabiskan waktu lebih lama di perjalanan.
Tak hanya itu, minimnya infrastruktur penunjang seperti trotoar dan angkutan pengumpan juga membuat penumpang harus mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit hanya untuk ke halte KRL atau Transjakarta. Maka tidak mengherankan, masih banyak pekerja yang memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.
Naik Kendaraan Pribadi Melelahkan, Tapi Tak Ada Pilihan Lain
Salah satu pekerja yang memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi adalah Hani yang berprofesi sebagai seorang content writer. Ia memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi lantaran di tempat tinggalnya, di daerah Sawangan, jauh dari akses transportasi umum. Untuk mencapai stasiun KRL terdekat saja, dirinya harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam, dan memakan ongkos yang tidak sedikit untuk pergi ke sana. Maka dari itu, Hani memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi-meskipun ia harus bermacet-macetan di sepanjang jalan menuju Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Berbeda dengan Rifki yang bisa me-recharge energi dengan naik transportasi umum, Hani kerap mengalami stres di jalan. Setiap hari, ia bisa menghabiskan waktu 3 hingga 3,5 jam untuk perjalanan pulang-pergi ke kantor. Rute yang ia tempuh membuatnya harus menghadapi berbagai titik kemacetan, yaitu Tendean, Wijaya, lalu Antasari. Lebih parah lagi, daerah tempat tinggalnya juga selalu macet karena semua warga Sawangan menggunakan kendaraan pribadi.
"Gue setiap mau berangkat ngerasa sakit perut karena gue gak siap menghadapi macetnya. Gue juga pernah hampir panic attack di dalam mobil karena gue stuck dan gue lihat mobil di depan gue juga gak gerak," ucap hani kepada CXO Media. Tapi ia tak memiliki pilihan lain, karena transportasi publik di Sawangan belum memadai, bahkan bisa dikatakan belum ada sama sekali.
Namun meski baik Hani maupun Rifki sama-sama mengakui bahwa perjalanan yang mereka tempuh sangat melelahkan, mereka tidak mempertimbangkan untuk mencari kost di daerah dekat tempat kerja. Keduanya memiliki alasan yang berbeda. Bagi Rifki, ia tidak ingin tinggal di kost karena ia ingin meluangkan lebih banyak waktu bersama orang tuanya. Sedangkan menurut Hani, biaya yang dikeluarkan untuk sewa kost bisa dialokasikan untuk berbagai kebutuhan lain.
Dampak terhadap Kesehatan Mental
Stres seperti apa yang dialami oleh Hani, dialami juga oleh para pekerja lainnya. Kemacetan, cuaca yang tidak bersahabat, dan transportasi umum yang ramai adalah beberapa penyebab mengapa commuting bisa menjadi aktivitas yang sangat melelahkan. Melansir Scientific American, commuting bisa menyebabkan stres terhadap pikiran dan tubuh. Stres yang ditimbulkan dari commuting bisa berupa gangguan tidur, fatigue, dan susah berkonsentrasi. Sementara itu, stres terhadap pikiran ini juga bisa termanifestasi dalam kesehatan yang menurun, seperti sakit kepala, sakit punggung, masalah pencernaan, dan tekanan darah tinggi.
Namun, mereka yang menggunakan kendaraan pribadi mengalami stres yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menggunakan transportasi umum. Sebab, menyetir kendaraan pribadi membutuhkan lebih banyak tenaga dan fokus agar bisa sampai ke tempat tujuan. Selain itu, kondisi jalan yang macet dan semrawut juga berkontribusi terhadap kesehatan mental para pengendara.
Pengalaman para pekerja di atas menunjukkan bahwa commuting bukanlah aktivitas yang perlu diromantisasi atau dianggap remeh. Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan betapa pentingnya akses terhadap transportasi umum. Jarak yang jauh antara tempat tinggal dan tempat kerja memang sesuatu yang kerap kali berada di luar kuasa kita. Namun setidaknya, dengan menyediakan transportasi umum dan fasilitas penunjangnya secara merata di berbagai daerah, penderitaan para pekerja komuter bisa sedikit diringankan.
(ANL/tim)