Beberapa minggu yang lalu, ratusan Kepala Desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) menggelar aksi di depan gedung DPR. Mereka menuntut pertambahan masa jabatan menjadi 9 tahun per periode. Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014, masa jabatan Kepala Desa diatur maksimal 6 tahun per periode, dan mereka boleh menjabat selama 3 periode apabila terpilih kembali. Apabila masa jabatan ditambah menjadi 6 tahun per periode, dan para Kades tetap diizinkan menjabat untuk tiga periode, maka seorang Kepala Desa bisa menjabat hingga 27 tahun-sebuah periode waktu yang amat lama, melebihi masa jabatan Presiden yang dibatasi 10 tahun untuk 2 periode.
Belum jelas apakah aspirasi ini akan diterima oleh DPR atau tidak. Namun, Menteri Desa Abdul Halim Iskandar mengatakan bahwa masa jabatan 9 tahun adalah jalan tengah untuk mengakomodasi aspirasi para Kepala Desa tanpa mengubah batas maksimal masa jabatan yang tertuang dalam UU. Artinya, bisa saja jalan tengah yang diambil adalah para kades bisa menjabat hingga 9 tahun untuk 1 periode, namun mereka hanya boleh mencalonkan diri dan menjabat selama 2 periode. Sehingga, batas maksimal 18 tahun yang telah ditentukan oleh Undang-undang tetap terlaksana.
Wacana perpanjangan masa jabatan ini menuai pro dan kontra dari masyarakat, salah satunya yaitu kreator konten Apip Nurahman. Dalam videonya Apip mengingatkan para kades agar tidak memikirkan diri sendiri, ia juga mengingatkan para kades untuk benar-benar memanfaatkan masa jabatan yang ada demi membangun desa dan bukan menguntungkan diri sendiri. Apip tidak sendirian, seorang guru di Pacitan bernama Suparno juga mengunggah video di media sosial yang mengkritik para kades. Menurut Suparno, para kades yang menggelar aksi hanya memperjuangkan nasib mereka sendiri dan tak memperjuangkan nasib warga desa.
Sesudah mengunggah video berisi kritik tersebut, Apip dan Supano mendapat tekanan dari para kades dan diminta untuk segera menyampaikan permintaan maaf. Suparno bahkan sempat diancam dipolisikan oleh para kades yang tersinggung dengan videonya. Namun setelah dimediasi, Suparno akhirnya membuat surat pernyataan maaf dan menyampaikannya secara langsung di hadapan para kades dan jajarannya. Namun alih-alin mendapat dukungan, kara kades semakin dikritik oleh publik karena dinilai telah mempersekusi warga. Apalagi, urgensi dari tuntutan para kades untuk menambah masa jabatan juga dipertanyakan oleh banyak orang. Lantas, mengapa para kades meminta agar masa jabatan mereka diperpanjang menjadi 9 tahun?
Alokasi Waktu Untuk Konsolidasi dan Membangun Desa
Menurut Menteri Desa Abdul Halim, alasan utama dari usulan perpanjangan masa jabatan ini adalah untuk menjaga stabilitas pembangunan desa. Sebab menurut para kades, masa jabatan 6 tahun tidak cukup efektif untuk melakukan banyak perubahan. Hal ini dikarenakan tingginya ketegangan politik di desa pasca pemilihan kepala desa yang seringkali pergesekannya lebih ekstrem dibanding pemilihan bupati, gubernur, atau presiden. Pasalnya, pemilihan kepala desa tak hanya melibatkan aspirasi politik, tapi juga nama baik keluarga besar dan juga gengsi sosial.
Akibatnya, para kades biasanya menghabiskan waktu 1-2 tahun untuk berkonsolidasi dengan lawan politik dan para warga yang mendukung mereka agar ketegangan politik bisa mereda. Pun ketika mereka telah berhasil melakukan konsolidasi, para kades harus mengalokasikan 1 tahun di akhir masa jabatan untuk menyusun kampanye periode berikutnya. Sehingga pada akhirnya rata-rata dari mereka hanya memiliki waktu 3 tahun yang efektif untuk membangun desa. Maka dari itu, para kades merasa perlu untuk dimandatkan masa jabatan yang lebih lama dari 6 tahun.
Rawan Dipolitisasi
Alasan dari para kades untuk menambah masa jabatan sebenarnya cukup logis, mengingat pergesekan akibat politik di desa bisa lebih ekstrem dibandingkan di kota. Namun, Indonesia Corruption Watch memiliki pendapat lain mengenai tuntutan masa jabatan ini. Menurut ICW, tuntutan ini patut ditolak oleh DPR dan pemerintah lantaran bernuansa politis dan tak menjawab permasalahan yang ada di desa, terutama soal korupsi. Berdasarkan data yang mereka himpun, sepanjang tahun 2015-2021 ada 592 kasus korupsi di desa dengan kerugian yang mencapai Rp433,8 miliar.
Selain tak menjawab masalah korupsi di desa, perpanjangan masa jabatan ini juga dikhawatirkan akan menyuburkan oligarki di desa. Keberadaan dinasti politik di desa-desa sudah menjadi rahasia umum, kekuasaan di desa seringkali hanya dipegang oleh satu keluarga atau satu kelompok yang sama selama bertahun-tahun. Apabila masa jabatan Kepala Desa ditambah, maka besar kemungkinannya demokrasi di desa akan semakin tidak sehat.
Sebelum memperpanjang masa jabatan kepala desa, rasanya akan lebih bijak apabila tata kelola desa diperbaiki terlebih dahulu. Sebab kalau korupsi dan oligarki masih tumbuh kuat, selama apapun masa jabatan seorang kepala desa tidak akan bisa mengatasi permasalahan yang ada.
(ANL/tim)