Sejak kemunculannya pada akhir tahun lalu, ChatGPT membuat masyarakat merasa takjub sekaligus waspada. Chatbot yang dikembangkan oleh OpenAI ini mampu menjawab hampir semua pertanyaan akademik dari berbagai bidang; mulai dari merangkai esai ratusan kata tentang filsafat hingga merangkai kode programming. Mulanya, banyak pekerja yang takut akan kehilangan pekerjaan karena tergantikan oleh chatbot ini. Namun kita semua bisa bernapas lega karena sepintar apapun jawaban yang diberikan ChatGPT, ia tidak akan mampu menghasilkan gagasan yang nuanced selayaknya manusia. Meski begitu, ada satu masalah yang belum terjawab: bagaimana dampak ChatGPT terhadap dunia pendidikan?
Baru-baru ini, kehebatan ChatGPT kembali dibuktikan ketika Christian Terwiesch, profesor sekolah bisnis Wharton dari University of Pennsylvania, menguji ChatGPT dengan soal ujian akhir program Magister Bisnis Administrasi (MBA). Ia meminta ChatGPT menjawab 5 pertanyaan untuk ujian mata kuliah Manajemen Operasi. Menurut Terwiesch, jawaban dari ChatGPT tak hanya tepat, tapi juga disertai dengan penjelasan yang bagus. Namun, chatbot ini justru membuat kesalahan kalkulasi dalam hitung-hitungan level kelas 6 SD. Secara keseluruhan, Terwiesch memberi nilai B- hingga B untuk ChatGPT.
Hasil dari percobaan yang dilakukan oleh Terwiesch ini membuat akademisi dan tenaga didik waspada. Apabila ChatGPT mampu menjawab ujian setara S2 dengan cukup baik, lantas bagaimana ke depannya apabila ChatGPT digunakan oleh pelajar dan mahasiswa untuk mengerjakan semua tugas-tugas mereka? Dengan adanya ChatGPT, kesempatan bagi pelajar untuk berbuat curang ketika ujian pun semakin besar. Apalagi, ChatGPT mampu menghasilkan jawaban yang menyerupai tulisan manusia sehingga akan sulit untuk dideteksi.
Masalah baru ini membuat banyak pengajar ketar-ketir karena mereka takut para siswa akan berpaling ke ChatGPT sebagai jalan pintas demi mendapatkan nilai yang bagus, atau setidaknya nilai yang cukup untuk membuat mereka lulus ujian. Penulis dan founder Crush the College Essay Peter Laffin pernah mewanti-wanti bahwa ChatGPT akan mendisrupsi dunia pendidikan, dan tenaga didik harus siap dengan hal ini. "(Penggunaan ChatGPT) akan mengakibatkan krisis dalam pembelajaran dan memaksa tenaga didik untuk mengevaluasi sistem pembelajaran," ucapnya dikutip dari Forbes.
Ilustrasi ChatGPT/ Foto: Freepik |
Tantangan Bagi Pengajar
Masalah di atas memunculkan setidaknya 2 pekerjaan rumah yang menantang bagi tenaga didik; pertama yaitu untuk bisa meminimalisir penggunaan ChatGPT sebagai jalan pintas bagi para siswa, dan kedua yaitu di saat yang bersamaan mereka juga harus bisa memanfaatkan ChatGPT dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem pembelajaran. Sebab mau tak mau, kitalah yang harus bisa beradaptasi dengan perkembangan kecerdasan buatan dan memaksimalkannya untuk pekerjaan sehari-hari.
Menurut Sam Illingworth, associate professor di Edinburgh Napier University, kehadiran ChatGPT justru harus dijadikan kesempatan bagi tenaga didik untuk mengevaluasi metode belajar yang mereka gunakan selama ini. Satu hal yang tak dimiliki ChatGPT dan kecerdasan buatan lainnya adalah autentisitas yang hanya dapat dihasilkan dari pengalaman manusia. Illingworth mengatakan bahwa tantangan terbesar dari munculnya ChatGPT adalah bagaimana ia sebagai pengajar harus bisa membuat sistem penilaian yang lebih autentik, bermakna, dan relevan.
Seperti yang kita tahu, selama ini banyak tugas dan penilaian yang didesain agar pelajar mampu menjawab dengan tepat dan secara kritis. Namun kehadiran ChatGPT membuat hal tersebut tak lagi cukup untuk menjadi patokan ketika memberi nilai karena ChatGPT mampu memberikan keduanya. Namun sepandai-pandainya atau sekritis-kritisnya ChatGPT, ia tidak akan mampu memahami pengalaman manusia.
Ilustrasi pemakaian ChatGPT untuk pendidikan/ Foto: Freepik |
Jadi, kuncinya adalah untuk bisa menguji pemahaman dan kemampuan para siswa melalui tugas yang didesain agar relevan dengan pengalaman dan kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya, alih-alih meminta para siswa untuk menjawab pertanyaan atau menulis esai yang jawabannya bisa didapatkan dari buku teks, para pengajar bisa mendorong mereka untuk membuat proyek, workshop, atau kegiatan lainnya yang tak harus dinilai berdasarkan teks.
Ide lainnya adalah untuk memanfaatkan ChatGPT untuk menguji pemahaman para siswa. Misalnya, dengan meminta para siswa untuk mengkritik jawaban yang diberikan ChatGPT dan meminta mereka menganalisa mana bagian yang sudah tepat dan mana yang kurang sesuai. Dengan demikian, ChatGPT pun juga bisa diintegrasikan ke dalam sistem pembelajaran tanpa harus ada ketakutan bahwa teknologi ini akan digunakan untuk berbuat curang.
Sepandai-pandainya ChatGPT, manusia akan selalu bisa menemukan cara-cara baru untuk memanfaatkan teknologi ini. Dunia pendidikan harus bisa melihat ChatGPT sebagai tool, bukan sebagai kompetitor apalagi sebagai lawan. Pada akhirnya meski ChatGPT memunculkan tantangan baru, tapi ia juga bisa menjadi kesempatan bagi para tenaga didik untuk merombak sistem pembelajaran ke arah yang lebih baik.
(ANL/alm)