Momen pergantian tahun seharusnya dirayakan dengan gembira dan penuh harapan. Tapi warga Indonesia justru diselimuti rasa kecewa dan pesimis, setelah pemerintah memberi kejutan spesial akhir tahun berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi 1 hari sebelum malam tahun baru (30/12).
Seperti halnya dengan UU Ciptaker, Perppu ini juga muncul secara tiba-tiba, tanpa tercium sebelumnya oleh media dan masyarakat. Pemerintah mengatakan bahwa Perppu ini dikeluarkan karena ada "kegentingan" untuk merespons situasi global yang semakin tidak stabil. Namun, apa yang sebenarnya membuat Perppu Ciptaker ini problematik?
1 tahun yang lalu, tepatnya pada November 2021, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja 'inkonstitusional bersyarat'. Artinya, UU Ciptaker dinyatakan cacat secara formal dan cacat secara prosedur. Mahkamah Konstitusi pun memberikan waktu 2 tahun bagi pemerintah untuk memperbaiki UU tersebut, salah satunya dengan menyerap aspirasi publik mengenai pasal-pasal yang bermasalah.
Alih-alih melaksanakan mandat Mahkamah Konstitusi, pemerintah justru mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja-meski masih memiliki waktu 7 bulan untuk memperbaiki UU Ciptaker. Dengan dikeluarkannya perppu ini, maka otomatis UU Ciptaker tidak lagi berlaku dan digantikan oleh peraturan pengganti ini. Masalahnya, isi dari Perppu Ciptaker tidak jauh berbeda dengan UU Ciptaker.
UU Ciptaker 2.0
Sejumlah pasal dalam Perppu Cipta Kerja menuai sorotan, salah satunya yaitu pasal mengenai hari libur bagi pekerja. Sejumlah media memberitakan bahwa dalam Perppu Ciptaker, para pekerja hanya mendapatkan libur 1 hari dalam seminggu. Hal ini tidak benar, sebab dalam perppu ciptaker tertulis bahwa waktu libur untuk pekerja minimal 1 hari dalam seminggu. Sementara itu, aturan maksimal jam kerja 40 jam seminggu masih berlaku. Jadi, karyawan yang bekerja 8 jam selama 5 hari masih berhak untuk mendapatkan libur 2 hari dalam seminggu.
Selain itu, sejumlah media juga memberitakan bahwa Perppu Cipta Kerja menghapus cuti haid dan cuti melahirkan. Lantaran, pasal mengenai cuti dalam Perppu ini tidak membahas mengenai aturan cuti yang spesifik, termasuk cuti haid dan cuti melahirkan. Namun informasi ini juga salah karena cuti haid dan cuti melahirkan sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, sedangkan UU Ketenagakerjaan masih berlaku meski Perppu ini dikeluarkan.
Meski begitu, bukan berarti tidak ada pasal bermasalah dalam Perppu ini. Ada beberapa pasal yang dinilai ambigu dan penuh ketidakpastian, salah satunya pasal mengenai penetapan upah minimum. Dalam pasal 88C, tertulis bahwa "Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota". Namun, tidak ada keterangan lebih lanjut dalam kondisi seperti apa gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten. Selain itu, tertulis juga upah minimum ditentukan berdasarkan "variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu." Sedangkan tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan "indeks tertentu".
Pasal mengenai pekerja outsourcing juga menuai sorotan. Sebelumnya dalam UU ketenagakerjaan jenis pekerjaan yang boleh menggunakan outsourcing dibatasi hanya 5, yaitu jasa pembersihan, keamanan, katering, jasa minyak dan gas pertambangan, serta transportasi. Namun dalam Perppu Ciptaker, tak ada kepastian mengenai jenis pekerjaan apa saja yang bisa menggunakan outsourcing. Tak hanya itu, batasan durasi kontrak kerja buruh outsourcing juga tidak dibatasi. Jadi, bisa saja kontrak buruh outsourcing diperbarui terus-menerus tanpa ada kepastian menjadi pegawai tetap.
Perppu Cipta Kerja diprotes oleh berbagai kalangan mulai dari aktivis hingga akademisi. Mereka menilai bahwa Perppu ini merupakan jalan pintas bagi pemerintah untuk menghindari kewajiban memperbaiki UU Ciptaker. Melansir Detik, Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan bahwa dikeluarkannya Perppu ini merupakan "bentuk pelecehan terhadap putusan MK". Sebab sudah jelas bahwa MK mengharuskan undang-undang dibentuk dengan menerapkan keterbukaan dan partisipasi publik.
Tak tinggal diam, masyarakat sipil yang terdiri dari mahasiswa, dosen, dan advokat akhirnya menggugat Perppu Ciptaker dengan mengajukan permohonan uji formil ke Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis (5/1). Apakah permohonan ini akan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi? Mari kita kawal terus perkembangan selanjutnya.
(ANL/DIR)