Timnas Indonesia siap tampil di ajang AFF Cup 2022, yang digelar pada 20 Desember 2022 - 16 Januari 2023 mendatang. Sebagai permulaan, tim asuhan Shin Tae-Yong akan menjamu Kamboja di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, hari Jumat (23/12/2022), demi memboyong trofi AFF perdana sepanjang sejarah.
Tergabung ke dalam grup A, Indonesia bersaing memperebutkan 2 slot teratas bersama Thailand, Filipina, Kamboja, dan Brunei Darussalam, untuk lolos ke babak semifinal. Ada pun pada penyelenggaraan tahun ini, AFF Cup 2022 kembali menerapkan sistem non tuan rumah, di mana setiap tim akan memainkan 2 laga; kandang-tandang sedari babak grup hingga partai final.
Sementara itu, di penampilan Indonesia yang ke-14, Tim Garuda diharapkan mampu finish sebagai kampiun demi melepas kutukan raja tanpa mahkota yang melekat sejak debut 26 tahun silam. Namun, apakah Indonesia mampu keluar sebagai pemenang? Atau, yang lebih penting untuk dipikirkan, layakkah tim kebanggaan 267 juta rakyat ini menjadi sang juara?
Sang Raja Tanpa Mahkota
Semenjak debut di tahun 1996 lalu, Indonesia belum pernah merasakan gelar Juara. Praktis, koleksi 6x runner-up tahun 2000, 2002, 2004, 2010, 2016 dan terakhir tahun 2020 menjadi pencapaian tertinggi anak-anak Merah Putih di AFF.
Dari 6 final yang dimainkan, Indonesia paling sering kalah di tangan 'Tim Gajah Putih', Thailand, sang pengoleksi 6 trofi AFF. Kekalahan terakhir terjadi pada edisi 2020 lalu dengan agregat 6-2, yang sekaligus menggenapi kekalahan ke-4 Indonesia di final atas Thailand, menyusul AFF edisi 2000, 2002, dan 2016.
Di samping itu, 'Tim Garuda' yang kerap garang dan sangat diunggulkan pada setiap permulaan AFF Cup, juga pernah kalah secara menyakitkan dari dua negara tetangga: Malaysia (2010) dan Singapura (2004). Pada akhirnya, 6 kekalahan pada 6 final yang telah dimainkan Indonesia menjadi satu dasar utama, yang menguatkan julukan Raja Tanpa Mahkota bagi Indonesia.
Skuad Lengkap Tahun 2022
Demi memburu gelar pertama di Asia Tenggara, Shin Tae-Yong telah menyiapkan 23 nama terbaik untuk AFF tahun 2022. Sejumlah nama pemain muda berbakat yang juga langganan Timnas, seperti halnya Asnawi Mangkualam, Pratama Arhan, hingga Egy MV, kembali mengenakan jersey Garuda di dada, bersamaan dengan beberapa pemain naturalisasi.
Pada posisi penjaga gawang, Nadeo Argawinata yang terus menjadi pilihan utama sejak AFF 2020 lalu kembali dipercaya berdiri di bawah mistar, dengan M. Riyandi dan Syahrul Trisna sebagai pelapis. Sedangkan pada posisi pemain belakang, darah naturalisasi yang masih segar, Jordi Amat, akan mengawal lini pertahanan bersama nama-nama gaek seperti, Hansamu Yama dan Fachrudin Aryanto
Berpindah ke lini tengah, beberapa pemain muda tangguh juga kembali diandalkan oleh STY. Di antaranya, Rachmat Irianto, Witan Sulaeman, Ricky Kambuaya, juga Sharian Abimanyu. Melengkapi pilihan di lini tengah, STY turut menyertakan Yakob Sayuri, Marselino Ferdinan, Saddil Ramdani, dan jangkar naturalisasi Marc Klok.
Lalu pada ujung tombak, 4 nama bomber berbahaya dipilih STY sebagai amunisi penembus jala lawan. Mulai dari M. Rafli, Dendy Sulistyawan, Ramadhan Sananta, hingga penyerang naturalisasi dari Bali United, Ilija Spasojevic.
Menanti Tuah Pintas Naturalisasi
Timnas Indonesia kembali mengandalkan jasa pemain naturalisasi pada gelaran AFF 2022-diwakili oleh Jordi Amat, Marc Klok, dan Ilija Spasojevic. Dengan kata lain, 'Tim Garuda' telah memanfaatkan jasa pemain naturalisasi pada 7 edisi AFF ke belakang, dengan total 37 pemain naturalisasi.
Secara menyeluruh, mengandalkan pemain naturalisasi merupakan satu cara pintas yang diharap dapat melonjakkan prestasi Indonesia, semenjak menjadi keputusan kontroversial dan diterapkan pada AFF tahun 2010 silam. Atau tepatnya saat Cristian 'El loco' Gonzales dan Irfan Bachdim menghiasi skuad pilihan Alfred Riedl.
Namun begitu, strategi Indonesia dalam memanfaatkan pemain naturalisasi justru bisa disebut tidak efektif. Karena faktanya, Indonesia tidak kunjung mengangkat trofi AFF saat diperkuat pemain naturalisasi. Bahkan tim Merah-Putih sempat tidak lolos grup di tiga edisi AFF (2012, 2014, dan 2018). Suatu hal yang berbanding terbalik dengan keputusan Singapura di awal 2000-an, yang banyak menaturalisasi pemain ke dalam Timnas mereka namun membuahkan 4 gelar AFF (1998, 2004, 2007, 2012).
Oleh sebab itu, walaupun naturalisasi merupakan hal legal dan telah dianggap wajar, bahkan banyak diterapkan secara efektif oleh timnas lain di dunia, keputusan Indonesia membiasakan naturalisasi sepertinya harus dipertimbangkan ulang.
Maksudnya, jika kita menengok antusiasme dan populasi penduduk Indonesia yang amat kaya, mengapa kita tidak menguatkan bibit potensial yang tersebar dari ujung Sabang hingga Merauke, sebagaimana perdebatan alot soal naturalisasi di Indonesia; memanfaatkan jasa asing—sekalipun pemain tersebut berkualitas—di sisi lain malah berbahaya bagi bibit-bibit unggul sepak bola di seantero negeri, yang seharusnya dewasa sebagai bintang pembawa prestasi di tanah air.
Apalagi, dengan lestarinya budaya naturalisasi di timnas, PR besar: pengembangan sepak bola usia muda di Indonesia juga tidak ada perbaikan, meski seharusnya menjadi prioritas paling utama jika menginginkan banyak prestasi dari dunia sepak bola—yang sangat digemari oleh mayoritas penduduk negeri +62.
Layak Juara?
Julukan 'Macan Asia' yang pernah dipikul sepak bola Indonesia di masa lampau terus membayangi prestasi sepak bola di negeri ini. Maka dari itu, menjadi juara di Asia Tenggara wajib segera direalisasikan tim Garuda, khususnya pada AFF 2022 mendatang. Akan tetapi, apakah Indonesia layak keluar sebagai juara?
Rasanya, setiap orang Indonesia—termasuk saya—akan merasa kalau tim ini sangat layak juara dan telah menjadi juara di hati, meski tidak pernah juara dalam arti sebenarnya. Namun untuk menjawab pertanyaan dalam kalimat yang lebih bijak, sepertinya Indonesia harus memperlayak diri jika ingin keluar sebagai juara.
Sementara lain, jika melihat perkara teknis, jelas tim besutan STY kali ini mampu bersaing sebagai juara dengan saingan terberat Thailand dan Vietnam. 'Tim Gajah Putih' dapat menjadi sandungan sebagaimana sejarah pertemuan kedua tim, sedangkan Vietnam, merupakan tim Asia Tenggara dengan peringkat FIFA tertinggi.
Di samping itu, dalam menimbang-nimbang kelayakan juara Timnas, saya rasa, sebaiknya Indonesia tidak keluar sebagai kampiun di edisi ini. Sebab jika melihat dari teropong yang lebih luas, masih banyak kelayakan internal yang lebih wajib diprioritaskan, seperti ekosistem kompetisi domestik yang masih amat bobrok; kompetisi dan pembinaan usia dini yang tidak berjalan baik; hingga masalah di batang tubuh federasi, terutama penyelesaian Tragedi Kanjuruhan yang terbengkalai.
Tiga dasar tersebut, tampaknya sudah cukup menguatkan alasan mengapa Indonesia belum layak juara. Karena jika saja Tim Garuda menjadi juara—dan sebenarnya saya pun sebagai pendukung sangat mensyukurinya—ditakutkan masalah-masalah yang hinggap tidak kunjung diselesaikan, dan pada lain sisi, prestasi timnas sekarang malah dijadikan alat pembelaan, bagi mereka yang pada realitanya lebih banyak merugikan Timnas Indonesia.
(RIA/tim)