Negara-negara lain mungkin masih memiliki waktu bersiap-siap menghadapi skenario terburuk dari ancaman krisis iklim, tapi tidak bagi Tuvalu. Tuvalu sudah kehabisan waktu, seluruh daratan dari negara kepulauan ini terancam tenggelam karena naiknya permukaan air laut. Pada ajang COP27 yang diselenggarakan di Mesir bulan November kemarin, Menteri Luar Negeri Tuvalu Simon Kofe mengumumkan bahwa kondisi ini memaksa Tuvalu untuk menjadi "negara digital" pertama di metaverse. Langkah ini dilakukan demi melestarikan sejarah dan kebudayaan Tuvalu, sekalipun nanti daratan negara tersebut akan tenggelam.
"Our land, our ocean, our culture are the most precious assets of our people and to keep them safe from harm, no matter what happens in the physical world, we will move them to the cloud," ucap Kofe di depan para pemimpin negara. Dalam video pidato di bawah ini, ia terlihat sedang berdiri di atas hamparan pasir putih di sebuah pulau kecil. Namun seiring kamera melakukan zoom out, Kofe ternyata sedang berdiri di sebuah pulau digital yang merupakan replikasi dari Teafualiku—sebuah pulau kecil di bagian utara Tuvalu yang kemungkinan besar akan tenggelam akibat krisis iklim.
Langkah yang diambil Tuvalu untuk memindahkan negaranya ke metaverse ini tentu membuat banyak orang bertanya-tanya: apa yang akan terjadi kepada warga Tuvalu nantinya saat seluruh negara benar-benar tenggelam?
Tuvalu Tak Punya Banyak Pilihan
Tuvalu adalah sebuah negara kepulauan yang terletak di Samudera Pasifik, di antara Hawaii dan Australia. Dengan populasi sebanyak 11 ribu jiwa, Tuvalu adalah negara terkecil keempat di dunia dengan luas wilayah sebesar 26 km2. Titik tertinggi di Tuvalu hanya mencapai 4,6 meter di atas permukaan laut, sedangkan permukaan laut di Tuvalu naik dua kali lipat dibandingkan rata-rata global. Kondisi ini membuat Tuvalu mengalami risiko tenggelam lebih besar dibandingkan negara lain. Bahkan saat ini 40% wilayah ibukota terendam air ketika air laut sedang pasang.
Tuvalu diprediksi tenggelam sepenuhnya dalam waktu 50 hingga 100 tahun yang akan datang. Ancaman tersebut membuat Tuvalu memohon bantuan kepada dunia internasional sejak tahun lalu. Pada ajang COP26 tahun 2021, Simon Kofe menyampaikan pidatonya dengan berdiri di dataran Tuvalu yang sudah terendam air laut. Kofe terlihat memakai setelan jas dengan celana yang digulung dan berdiri di tengah-tengah air laut setinggi lutut. Video pidato Kofe berhasil menarik perhatian dunia. Namun sayangnya, bantuan tak kunjung datang bagi Tuvalu. Hingga akhirnya setahun kemudian, Tuvalu memutuskan untuk menyelamatkan diri sendiri dengan mereplika negaranya ke metaverse.
"Since COP26, the world has not acted and so we in the Pacific have had to act. We've had to take our own precautionary steps with a Future Now project. As our land disappears, we have no choice but to become the world's first digital nation," ucap Kofe dalam pidatonya tahun ini.
Masa Depan yang Tak Menentu
Menyelamatkan diri ke ruang digital merupakan bagian dari projek Future Now yang dicanangkan oleh pemerintah Tuvalu untuk menghadapi skenario terburuk. Ada 4 inisiatif dalam projek ini: 1) mempengaruhi negara lain untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar atas tindakan mereka, 2) menempuh cara legal untuk mempertahankan kedaulatan negara terlepas dari ada atau tidaknya wilayah fisik, 3) tetap berfungsi sebagai negara meski nanti harus melakukan relokasi, dan 4) meningkatkan kesadaran publik dan menggencarkan advokasi terkait krisis iklim.
Dengan mereplikasi negara ke dunia digital, Tuvalu berharap sejarah dan kebudayaannya tetap bisa dipertahankan untuk generasi yang akan datang. Sebab menurut Kofe, banyak generasi tua di Tuvalu yang tidak ingin pindah lantaran memiliki ikatan dengan tanah kelahiran mereka. Selain itu, menjadi negara digital juga menjadi cara alternatif untuk mempertahankan fungsi dan kedaulatan negara sekalipun nanti wilayahnya akan tenggelam. Meski demikian, masa depan Tuvalu masih tak menentu. Sebab dunia digital tidak akan bisa sepenuhnya menggantikan negara dengan wilayah yang lengkap.
Apa yang dialami oleh Tuvalu sekarang menggambarkan realita pahit dari krisis iklim, yaitu kelompok yang berperan kecil dalam kerusakan lingkungan justru menjadi kelompok yang harus menanggung risiko paling besar. Meski Tuvalu ikut bertanggung jawab atas lingkungannya sendiri, tapi dampak krisis iklim yang mereka rasakan hari ini diakibatkan oleh emisi dari negara-negara lain yang jumlahnya jauh lebih besar. Dan yang lebih menyedihkan, negara kecil seperti Tuvalu harus menanggung risiko ini sendirian.
(ANL/tim)