Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru saja disahkan oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Namun, pengesahannya sendiri tak hanya menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat Indonesia, tapi juga negara asing seperti Australia sampai Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Permasalahan KUHP kontroversial ini sampai menyebabkan beberapa warga negara Australia membatalkan kunjungan mereka untuk berlibur ke Indonesia karena takut terkena pasal-pasal yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah pasal mengenai perzinahan yang diklaim pihak Australia melanggar privasi dan juga hak asasi manusia.
Bahkan "Negara Kangguru" itu pun sampai mengeluarkan travel warning bagi warganya yang ingin melakukan perjalanan ke Indonesia. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia memperbarui saran perjalanan ke Indonesia menjadi "berhati-hati".
"Parlemen Indonesia telah meloloskan revisi hukum pidana, yang mencakup hukuman untuk kohabitasi dan seks di luar nikah. Wisatawan berhati-hatilah.. karena jika tidak, kita bisa melihat beberapa situasi yang sangat tidak menguntungkan di mana kita harus memberikan bantuan konsuler kepada orang-orang yang tanpa sadar atau tidak sengaja melakukan hal salah," tulis pengumuman yang dikutip dari News.com.au.
KUHP Indonesia pun sampai membuat Amerika Serikat ikut bersuara terkait pasal-pasal yang ada di dalamnya. Mereka menilai bahwa hukum tersebut dapat membuat para investor angkat kaki dari Indonesia. Selain itu, mereka berpendapat bahwa hal tersebut dinilai akan berdampak pada pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan mendasar di Indonesia.
"Kami juga prihatin tentang bagaimana undang-undang tersebut bisa berdampak pada warga AS yang berkunjung dan tinggal di Indonesia, serta iklim investasi bagi perusahaan AS," ujar perwakilan Amerika Serikat seperti dikutip AFP.
Tak hanya kedua negara tersebut, PBB pun sampai repot-repot menyurati pemerintah Indonesia karena pengesahan KUHP terbaru. Isi poin surat tersebut meliputi masukan dan kekhawatiran karena dapat merusak kebebasan dan penegakan HAM, seperti dinilai bertentangan dengan hukum internasional, mengancam kekerasan gender, berdampak pada akses kesehatan, hingga mengancam hak privasi individu.
Banyaknya negara asing yang dibuat panik karena KUHP terbaru Indonesia, sebenarnya bisakah suatu negara menginterupsi hukum negara lain dan seperti apa batasnya?
Ikut Campur yang Perlu dan Tak Perlu
Dikutip dari jurnal dari Universitas Pancasila berjudul "Penerapan Prinsip Humanitarian Intervention Sebagai Cara Penyelesaian Konflik Bersenjata Internasional Dikaitkan dengan Kedaulatan Negara" yang ditulis Rury Octaviani dan Setyo Febrian, menurut Piagam PBB sebenarnya negara lain diizinkan untuk mengintervensi peristiwa di suatu negara, namun ada aturannya.
Misalnya, ketika suatu negara melakukan pelanggaran HAM berat pada warganya. Tindakan ini dikenal sebagai Humanitarian Intervention atau intervensi kemanusiaan yang secara umum dilakukan sebagai upaya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM dengan kekuatan tertentu (diplomatik dan militer) di suatu negara, baik dengan atau tanpa persetujuan negara itu.
Jadi, ketika terjadi suatu masalah kemanusiaan di suatu negara yang bersifat pelanggaran HAM yang berat, maka masyarakat internasional dibenarkan untuk melakukan suatu tindakan intervensi. Pelanggarannya meliputi kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan lainnya. Hal itu juga berlaku pada hukum negara yang kemungkinan melanggar HAM.
Sementara itu, Piagam PBB juga menyatakan bahwa setiap negara dalam melakukan hubungan internasional dilarang untuk melakukan suatu intervensi ke dalam urusan domestik negara lainnya. Begitu pula dengan PBB yang tidak boleh ikut campur dalam urusan domestik negara lain. Hal ini memperjelas bahwa sebenarnya negara lain tidak berhak untuk ikut campur dalam urusan hukum suatu negara yang telah masuk dalam urusan domestik.
Kurangnya Pemahaman
Tak bisa dimungkiri, disahkannya KUHP baru Indonesia memang begitu kontroversial. Tapi terlepas dari itu, pemerintah hanya mencoba untuk lepas dari undang-undang masa kolonial yang begitu mengikat selama ratusan tahun. Sayangnya, konteks tersebut tidak terlalu dipahami oleh sebagian besar masyarakat internasional.
Sebut saja soal pasal perzinahan yang dianggap melanggar hak privasi warga negara yang dinilai kurang sosialisasi sampai membuat heboh para WNA yang ingin berkunjung ke Indonesia. Namun, sebagai negara dengan standar moralitas yang mengacu pada norma agama, pasal perzinahan ini dianggap sebagai langkah untuk meminimalisir seks bebas di kalangan anak-anak muda.
Meskipun diatur, tapi ada poin-poin penting di dalam pasal ini; yaitu pasal berlaku jika ada pihak keluarga yang melaporkan perzinahan tersebut kepada pihak berwajib, baru bisa diproses menjadi delik aduan. Sementara, jika tidak ada yang melapor atau yang melapor tidak memiliki hubungan apapun dengan pelaku, kemungkinan tidak bisa diproses.
Tak hanya itu, PBB juga mengkritisi soal kebebasan beragama dan diskriminasi gender yang berpotensi menimbulkan kekerasan pada orientasi seksual atau identitas gender tertentu. Seperti yang diketahui, Indonesia memang memiliki banyak keyakinan, namun hanya sedikit yang diakui. Namun, kritik PBB sebenarnya tidak mendasar, terlebih dalam UUD 1945 dan Pancasila tertera bahwa Ketuhanan yang Maha Esa, artinya Indonesia merupakan negara yang memberikan kebebasan beragama bagi setiap warganya dan dijamin secara hukum.
Protes yang dilayangkan beberapa negara mungkin berniat baik untuk memperjelas pasal-pasal karet yang belum lengkap. Namun terlepas dari itu, KUHP sebenarnya telah dipertimbangkan sesuai dengan ideologi negara yang dipadukan dengan norma-norma masyarakat dan agama yang ada di Indonesia. Sehingga intervensi berbentuk kritik terhadap hukum Indonesia agaknya berlebihan dan terlalu jauh.
(DIR/alm)