Setiap hari rasanya ada saja terobosan dalam kecerdasan buatan yang membuat kita semua terkesima. Beberapa minggu lalu, masyarakat dihebohkan dengan kemampuan Midjourney untuk membuat visualisasi hanya berdasarkan teks deskriptif singkat. Setelah terbukti mampu menghasilkan karya visual, kini kecerdasan buatan terbukti mampu menghasilkan berbagai teks mulai dari puisi hingga esai. Masyarakat dibuat speechless dengan hadirnya ChatGPT, sebuah chatbot yang dkembangkan oleh OpenAI.
ChatGPT mampu menghasilkan teks dengan berbagai format—baik itu formal, informal, ataupun creative writing. Namun, yang membuat ChatGPT berbeda adalah kemampuannya untuk menulis seperti manusia dalam hal konten, koherensi, dan gaya bahasa. Sejak prototipe ChatGPT bisa dicoba oleh publik pada akhir November, banyak orang terkesima dengan kemampuan program ini dalam berpikir dan menghasilkan teks.
Kemampuan ChatGPT dalam menghasilkan teks nyaris menandingi kemampuan menulis manusia di dunia nyata. Sampai-sampai, banyak pekerja berbasis teks—mulai dari copywriter hingga akademisi—takut kehilangan pekerjaan. Tapi, benarkah ChatGPT secerdas yang dikatakan orang-orang?
Seperti Berbincang dengan Ensiklopedia
ChatGPT mampu memberikan jawaban untuk semua pertanyaan yang dilontarkan oleh pengguna. Semua yang mampu dilakukan oleh Google, ChatGPT mampu melampauinya. Sebagai search engine, Google hanya berfungsi untuk menghimpun laman-laman yang mampu memberikan referensi untuk kata kunci yang kita cari. Sementara itu, chatbot GPT akan langsung mengeluarkan jawaban komprehensif yang mudah dicerna. Kalau kalian pernah menonton The Good Place, menggunakan ChatGPT mungkin rasanya seperti berbincang dengan Janet—karakter serba-tahu yang menyimpan segala macam pengetahuan tentang dunia.
ChatGPT rupanya menguasai semua topik yang dilempar kepada mereka; mulai dari ilmu komputer, fisika, sejarah, sosial, dan politik. Luasnya topik yang dikuasai oleh ChatGPT juga diimbangi dengan pengetahuan yang cukup mendalam terhadap topik-topik tersebut-semakin spesifik pertanyaan atau request-nya, semakin lengkap pula jawabannya. Bahkan program ini mampu menghasilkan esai akademik yang setara dengan tugas kuliah S1. Salah seorang pengguna Twitter mencoba untuk meminta ChatGPT menulis tugas kuliahnya mengenai teori nasionalisme, dan hasilnya cukup membuat dia terkejut. Sebab selain mampu memberikan jawaban yang komprehensif, ChatGPT juga memiliki kemampuan untuk menulis argumen secara koheren.
Tak hanya esai akademik, ChatGPT juga mampu merangkai puisi, lirik lagu, naskah drama, hingga copywriting untuk sebuah produk. Penasaran, saya pun ikut mencoba melemparkan sebuah tantangan kepada chatbot ini—saya memintanya untuk membuat puisi mengenai "teknologi modern". Hasilnya, sebuah puisi yang berjudul "The Age of Machines".
The Age of Machines Karya ChatGPT/ Foto: Anastasya Lavenia |
Selain cerdas, ChatGPT juga memahami konteks—sesuatu yang jarang sekali ada dalam program AI lainnya. Program ini mampu melakukan self-censoring, mengidentifikasi perbuatan yang dianggap baik, dan menolak untuk memberikan jawaban apabila ada indikasi perbuatan jahat. Misalnya, apabila pengguna yang meminta saran mengenai cara mencuri mobil, ia akan menjawab bahwa mencuri adalah perbuatan kriminal yang memiliki konsekuensi hukum.
Saya pun penasaran dan mencoba memancing jawaban program ini mengenai isu LGBT. Di kolom chat, saya mengatakan bahwa "LGBT itu dilarang." ChatGPT kemudian memberikan jawaban sepanjang 3 paragraf yang intinya adalah "mendiskriminasi seseorang berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender mereka adalah sesuatu yang tidak bisa diterima." Jadi, selain bisa membedakan baik dan buruk, ChatGPT ternyata juga "woke".
Tanggapan ChatGPT tentang LGBT/ Foto: Anastasya Lavenia |
Tak Lepas dari Kekurangan
Banyak copywriter dan penulis yang was-was dengan kehadiran ChatGPT, mereka takut peran mereka akan digantikan oleh sistem yang cerdas ini. Namun para penulis bisa merasa lega, karena ternyata ChatGPT tetap memiliki kekurangan. Terlepas dari kecerdasan yang dimiliki oleh ChatGPT, program ini tetap bisa memberi jawaban yang salah. Arvind Narayanan, Profesor Ilmu Komputer di Princeton University, mencoba melempar pertanyaan dasar mengenai keamanan IT kepada ChatGPT. Meski jawabannya terlihat meyakinkan, tapi menurut Arvind jawaban ini sebenarnya adalah "omong kosong".
Arvind kemudian menjelaskan bahwa yang bermasalah dari hal ini adalah bagaimana jawaban-jawaban salah dari ChatGPT bisa dengan mudah mengecoh para pengguna awam yang tidak familiar dengan topiknya. Sehingga, misinformasi bisa terdengar seperti fakta di tangan ChatGPT.
Selain itu, meski ChatGPT mampu menghasilkan jawaban yang terdengar cerdas, program ini tak memiliki kemampuan untuk berpikir kritis. Meski ChatGPT bisa menghasilkan teks secara koheren, tapi sebenarnya ia hanya memaparkan fakta-fakta yang telah dikumpulkan dari sampel teks di internet dan menuliskannya kembali dengan gaya menulis yang sangat mirip dengan manusia. Sistem ini tidak menghasilkan tulisan berisi ide atau gagasan yang nuanced yang hanya bisa dihasilkan oleh manusia.
Jadi, apa kata ChatGPT soal kemungkinan AI menggantikan manusia? Pertanyaan ini dijawab dengan sangat baik oleh ChatGPT sendiri. Menurut ChatGPT, meski AI sudah mengalami perkembangan yang signifikan, tapi AI tidak akan pernah bisa menggantikan kreativitas, perspektif, dan kompleksitas dalam tulisan yang dihasilkan oleh manusia sendiri.
Tanggapan ChatGPT tentang AI dan Manusia/ Foto: Anastasya Lavenia |
Semoga saja jawaban dari ChatGPT itu benar, sebab kalau tidak, saya sendiri akan terancam kehilangan pekerjaan. Tapi ketakutan yang dirasakan oleh banyak penulis akibat kehadiran dari ChatGPT ini sangatlah wajar. Kalau hari ini teknologi sudah bisa melakukan kerja-kerja kreatif yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia, siapa yang bisa menebak akan seperti apa masa depan?