Penghakiman massal yang dilakukan warganet terhadap Arawinda Kirana semakin membabi buta menjelang tayangnya film Like and Share yang dibintangi oleh aktris tersebut. Kasus perselingkuhan yang melibatkannya kembali menjadi perbincangan setelah KITE Entertainment mengunggah pernyataan bahwa talent mereka, Arawinda, adalah korban manipulasi dari Guido Ilyas-laki-laki yang diduga berselingkuh dengannya-dan juga korban hate speech dan bullying yang secara masif dilakukan oleh warganet. Namun alih-alih mendulang simpati, unggahan ini justru membuat Arawinda semakin dibenci.
Kasus yang melibatkan Arawinda menambah daftar nama figur publik tanah air yang diboikot oleh publik, atau dengan bahasa internet di-cancel. Cancel culture adalah sebuah fenomena yang lahir di dunia maya namun memiliki dampak di dunia nyata, ia merupakan bentuk mob justice atau keadilan massa yang berfungsi sebagai sanksi sosial. Cancel culture biasanya berkorelasi dengan political correctness, sejumlah figur publik yang akhirnya menjadi sasaran boikot adalah mereka yang memiliki sikap misoginis, rasis, homofobik, atau ignorant.
Dalam kasus Arawinda, misalnya, konflik awalnya sebenarnya adalah perselingkuhan. Tetapi, kekecewaan publik terhadap Arawinda semakin membesar lantaran selama ini ia dikenal sebagai figur yang vokal dalam mengangkat isu hak perempuan. Di mata warganet, Arawinda adalah "SJW munafik" yang gagal bersolidaritas dengan sesama perempuan karena ia justru "merebut" suami orang lain.
Keadilan Semu
Kebencian yang diarahkan kepada Arawinda akhirnya melebar ke mana-mana, bahkan banyak yang melakukan body-shaming dan membandingkan fisik Arawinda dengan Amanda Zahra-istri dari Guido Ilyas. Lama kelamaan, intensitas kemarahan publik terhadap Arawinda juga mengundang pertanyaan, sebab cancel culture yang mengatasnamakan keadilan malah berubah menjadi perundungan yang terjadi secara masif.
Kasus Arawinda adalah bukti nyata seberapa berbahayanya cancel culture, sebab kemarahan publik bukan lagi soal menuntut keadilan, tapi soal bagaimana menghukum Arawinda agar ia merasa malu. Hal ini mencerminkan salah satu permasalahan dari cancel culture, yaitu bagaimana budaya boikot lebih memprioritaskan shaming dibandingkan menuntut akuntabilitas. Pasalnya, cancel culture menutup adanya ruang diskusi dan tak memberikan kesempatan bagi pelaku untuk merefleksikan kesalahan yang mereka lakukan.
Kedua, cancel culture juga bisa berubah menjadi sebuah spectacle yang bagi sebagian orang berfungsi sebagai hiburan. Menurut psikolog Matt Glowiak, ketika cancel culture hanya berfokus pada hukuman yang diberikan, publik tidak lagi menaruh perhatian pada pokok masalah yang mendasari adanya cancel culture. Public shaming yang dilakukan orang-orang pun akhirnya menjadi sebuah tontonan seru dan lagi-lagi gagal dalam mengupayakan akuntabilitas. Lantas, adakah cara lain yang lebih efektif sekaligus manusiawi untuk menagih akuntabilitas seseorang yang melakukan kesalahan?
Public Shaming Harus Jadi Opsi Terakhir
Menurut Glowiak, ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk menagih akuntabilitas tanpa melakukan public shaming. Pertama, kumpulkan semua fakta-fakta dari peristiwa yang terjadi dan identifikasi masalahnya. Kedua, sampaikan keresahan secara personal kepada orang yang melukai atau merugikanmu, atau hubungi institusinya kalau ia tidak memberikan respons. Dengan membangun percakapan di ruang privat, pelaku mungkin akan lebih mudah mencerna dampak perbuatannya terhadap orang lain. Ketiga, sefatal apapun kesalahan yang dilakukan, beri ruang bagi mereka untuk berbicara dan mengungkapkan perspektif mereka.
Cancel culture seharusnya menjadi alternatif terakhir apabila cara-cara di atas tidak membuahkan hasil. Harus diakui, terkadang ada berbagai faktor yang mau tak mau membuat kita memilih cancel culture tanpa mempertimbangkan cara-cara lainnya; seperti seberapa besar dampak dari tindakan yang dilakukan, apakah kamu akan merasa aman berbicara dengan orang ini di ruang yang tertutup, dan apakah kira-kira orang tersebut terbuka dengan uneg-uneg yang kamu sampaikan.
Pada akhirnya, menyadarkan seseorang akan perilaku buruk mereka yang telah merugikan orang lain adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan. Namun sebelum ramai-ramai memboikot, coba pertimbangkan lagi apakah cara ini ampuh untuk membuat pelaku menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.
(ANL/alm)