Hukum pada hakikatnya, berfungsi sebagai aturan yang menjadi pelindung bagi hak warga negara. Akan tetapi, bagaimana jadinya, jika rancangan ketentuan-ketentuan hukum pada hari ini malah menciptakan polemik dan membahayakan kelangsungan hidup warga negara? Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) baru saja mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai undang-undang, pada rapat paripurna yang digelar Selasa (6/12/2022).
Pengesahan RKUHP ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco-kendati Puan Maharani (Ketua DPR) tidak menghadiri sidang. Meski telah disahkan, proses ketuk palu RKUHP menjadi KUHP sendiri sempat mendapat interupsi dari anggota Fraksi PKS, Iskan Qolba Lubis. Iskan Lubis sendiri mendesak Sufmi Dasco untuk mencabut sejumlah pasal dalam RKUHP, salah satunya pasal 240 soal penghinaan terhadap lembaga negara; karena rentan disalahgunakan oleh para pemangku jawatan di masa mendatang.
Pada akhirnya, perdebatan tersebut berujung alot, dan Iskan Lubis memilih untuk walk out, tepat sebelum Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly lanjut memberi pemaparan, dan akhirnya RKUHP disahkan menjadi Undang-Undang.
Polemik Panjang RKUHP
Permasalahan yang menyelimuti pembahasan RKUHP yang diinisiasikan oleh DPR sejatinya telah berlangsung sejak tahun 2019 lalu. Melalui berbagai rangkaian aksi di seluruh penjuru kota di Indonesia, koalisi gabungan masyarakat hingga mahasiswa telah menyoroti kinerja DPR dalam proses perumusan undang-undang.
Tagar-tagar seperti #SaatnyaPeoplePower, #ReformasiDikorupsi hingga #MosiTidakPercaya pun telah diluncurkan, demi memastikan RKUHP yang diusulkan DPR tidak memberatkan rakyat secara menyeluruh. Perkara utamanya, proses pembentukan RKUHP yang dilakukan DPR juga disebut tidak transparan dan tidak partisipatif, karena mengalpakan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang.
Apalagi, selama pembahasan bertahun RKUHP dilaksanakan DPR, terdapat banyak sekali permasalahan pada pasal-pasal yang dimuat. Hingga kini telah disahkan, pasal bermasalah di dalam RKUHP draf terakhir (30/11/2022) yang diterima masyarakat sipil, kembali diperdebatkan oleh banyak lapisan masyarakat-yang siap kembali turun ke jalan karena kerancuan merugikan di badan RKUHP.
Pada sisi lainnya, Aliansi Nasional Reformasi KUHP, hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI), telah menghimpun dan memaparkan sejumlah poin bermasalah di dalam RKUHP, yang telah disahkan DPR siang tadi, untuk segera dihapuskan. Keberatan ini sendiri, didasari oleh kandungan pasal di dalam RKUHP; yang antidemokrasi, merawat perilaku koruptif, membungkam kebebasan pers, dan masih banyak masalah lainnya.
Pasal-pasal Bermasalah RKUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, selayaknya memiliki kejelasan dan kevalidan hukum yang tegas dan jelas agar bisa berjalan efektif pada kehidupan masyarakat. Sayangnya, pada RKUHP yang baru saja disahkan, masih banyak kontroversi, kerancuan, dan ketidakjelasan yang terkandung. Merujuk pada informasi yang berhasil dihimpun Aliansi Reformasi KUHP, berikut adalah pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP:
Living Law (Pasal 2)
Seseorang dapat dipidana bila ia melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang yang tinggal di lingkungannya. Jelas, pasal ini memiliki unsur 'karet' berlapis, karena tidak ada batasan konkret mengenai hukum di antara masyarakat, dan membuka ruang persekusi dan main hakim sendiri, terutama kepada kelompok perempuan, kaum marjinal, atau siapapun yang bukan mayoritas, di suatu tatanan masyarakat.
Hukuman Mati (Pasal 67; 100; 101)
Menegakkan hukuman pidana mati sama saja dengan mengabaikan prinsip dasar Hak Asasi Manusia. Di sisi lain, penerapan Hukuman Mati selama ini juga berjalan jauh dari kata efektif, karena tidak menutup keran masalah, dan malah rawan salah sasaran.
Pemberatan Sanksi Pidana Berlebihan (Pasal 86; 88; 89)
Di poin ini, hukum tampak sebagai sesuatu hal transaksional. Dengan kata lain, hukuman kumulatif berupa denda non-benda bisa kian merugikan rakyat, karena hak-hak tertentu seperti, hak memegang jabatan publik/umum; hak memilih dan dipilih; hingga hak menjalankan profesi seseorang bisa dicabut begitu saja.
Penghinaan Presiden (Pasal 218; 219; 216)
Pada dasarnya, pasal ini sangat berlawanan dengan hak berpendapat dan berekspresi. Apalagi, Presiden di Indonesia bukan hanya menjabat sebagai kepala negara tetapi juga kepala pemerintahan. Artinya, pasal ini sangat berpotensi membungkam suara-suara kritis terhadap keputusan pemerintah, atau dalam hal ini, Presiden.
Penghinaan Lembaga Negara dan Pemerintah (Pasal 240 & 241)
Serupa dengan Penghinaan Presiden, pasal ini juga menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara. Dengan kata lain, segala kritik yang ditujukan kepada pemerintah-tersirat atau tersurat-terancam dipidanakan. Tak hanya itu, situasi "...berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat..." juga perlu diperjelas, karena hal ini bersifat sangat subjektif dan tidak elok dijadikan sebuah tolok ukur hukum pidana.
Pawai dan Unjuk Rasa (Pasal 256)
Dilarang melakukan mobilisasi massa tanpa izin dari pihak berwenang. Secara terang-terangan, pasal ini dapat menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi di masyarakat, yang seharusnya dijamin UUD. Pada sisi tertentu, keberadaan pasal ini bahkan dapat menjadi duri, bagi masyarakat yang ingin menggelar unjuk rasa terhadap kebijakan pemerintah. Sebab bukan rahasia lagi, pihak keamanan sering kali tidak menerbitkan izin unjuk rasa, terutama pada isu-isu yang berbau kritik terhadap pemangku kepentingan.
Penyebaran Marxisme dan Leninisme (Pasal 188)
Melarang penyebaran dan pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum secara lisan atau tulisan melalui media apapun, karena mengandung benih dan unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila. Hal ini bersifat rancu, sebab turunan dari paham-paham yang dilarang justru menjadi salah satu dasar keilmuan, di bidang humaniora. Kemudian, pasal ini juga menghalang-halangi hak mendapat pendidikan yang dimiliki oleh warga negara.
Tindak Pidana Korupsi (Pasal 605)
Hukuman bagi terpidana penjara kasus korupsi paling singkat dikurangi dari 4 tahun menjadi 2 tahun dan hukuman paling lama 50 tahun menjadi 5 tahun. Pidana denda pun turun dari minimal Rp 200 juta menjadi Rp 50 juta. Beberapa aturan hukuman lain juga diturunkan intensitasnya, mengacu pada sejumlah ketentuan. Dalam praktiknya, hal ini menimbulkan sikap: ketidakseriusan pemerintah dalam menghukum koruptor, yang sejatinya merupakan pengkhianat negara yang wajib diberantas.
Kontrasepsi (Pasal 410; 411 & 412)
Pasal ini dapat mengkriminalisasi upaya-upaya edukasi kesehatan reproduksi masyarakat, yang seharusnya dipahami khalayak luas agar tidak terjerumus pada isu dan penyakit seksual menular.
Kesusilaan (Pasal 172; 408)
Selain mengukuhkan ketentuan mengenai kohabitasi atau hidup bersama di luar ikatan perkawinan, yang mana bertujuan untuk melindungi status hubungan rumah tangga pada satu sisi, pasal terkait kesusilaan malah dapat menyerang para pekerja seni dengan pidana, apabila karya-karyanya dianggap melanggar kesusilaan. Di titik ini, kebebasan ekspresi bagi pekerja seni jelas terampas. Terlebih lagi, pasal ini berpotensi mengkriminalisasi korban kekerasan seksual. Sementara lain, frasa aktivitas seksual pada pasal penjelas 408 juga sangat rancu, sebab tidak ada batasan pasti mengenai suatu perbuatan yang dianggap sebagai aktivitas seksual yang melanggar kesusilaan di muka publik.
Penghapusan Pelanggaran HAM Berat (Pasal 600)
RKUHP menerapkan asas non-retroaktif, yang artinya kejahatan di masa lalu, tidak dapat dipidana dengan peraturan baru. Selain menghilangkan upaya pengusutan pelanggaran HAM fatal di masa lalu, implikasinya juga mengubah jenis tindak pidana dari khusus menjadi umum. Keberadaan pasal ini merupakan kemunduran yang nyata, karena sebetulnya, sudah ada UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur soal genosida dan kejahatan terhadap manusia. Kemudian, pasal ini turut bernilai tumpul ke atas, di mana pihak yang bersalah bisa lepas dari tuduhan begitu saja akibat masa daluarsa kasus ini diatur dalam tempo yang singkat.
Berita Bohong (Pasal 263; 264)
Pasal ini menyerang kebebasan pers. Secara terang-terangan, aturan ini dapat mendegradasi aturan pemberitaan, yang sebelumnya diatur melalui mekanisme Undang-undang Pers di bawah kewenangan Dewan Pers.
Itulah beberapa poin bermasalah yang masih terkandung di dalam RKUHP, yang sialnya, telah disahkan DPR hari ini. Lebih menyedihkannya lagi, terdapat beberapa masalah lain di dalam RKUHP seperti, Tanggung Jawab Pidana Penyandang Disabilitas (Pasal 38; 39; 103 ayat (2), Pasal 99 ayat (4)); Korporasi sebagai entitas sulit dijerat hukum (Pasal 46; 47; 48); Pasal terkait Penghinaan Simbol Negara, hingga Tindak Pidana Agama.
Semua hal yang dituliskan di atas wajib kita ketahui dan lawan bersama, agar supaya kedepannya, masyarakat yang seharusnya dilindungi undang-undang, tidak menjadi pihak pertama yang dirugikan oleh Undang-undang yang baru dirumuskan oleh para wakilnya yang terhormat. Mari soroti hal ini agar kita tidak #TibaTibaDIPENJARA. Dan mari berhati-hati, karena #semuabisakena.
(RIA/tim)