Bagi sebagian besar warga negara-negara di Asia Timur, pernikahan kini tak lagi menarik untuk dijalani. Dari tahun ke tahun, warga dari Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok mengalami permasalahan terkait angka kelahiran. Pada tahun 2020 angka kelahiran di Korea Selatan hanya 0,84 persen dan terus menurun hingga 0,81 persen di tahun 2021. Padahal idealnya, suatu negara harus punya tingkat kesuburan 2,1 persen untuk menjaga populasinya.
Semakin menurunnya angka kelahiran di Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok ini disinyalir disebabkan oleh perubahan skala prioritas para perempuan di negara tersebut. Kini banyak perempuan yang enggan untuk memiliki anak, bahkan lebih senang melajang karena merasa lebih bebas.
Tak ayal, resesi seks pun menjadi permasalahan serius yang menghantui negara-negara itu. Lantas, apa itu resesi seks dan bagaimana itu menjadi momok menakutkan suatu negara?
Ilustrasi warga/ Foto: Unsplash |
Mengenal Istilah Resesi Seks
Resesi seks pertama kali diperkenalkan oleh Kate Julian, seorang peneliti dan penulis di The Atlantic. Resesi ini merujuk pada fenomena hubungan seks yang semakin menurun di sebuah negara. Mengutip dari penelitian Jean M. Twenge, profesor psikologi dari San Diego State University yang mencoba mengeksplorasi kehidupan seksual warga Amerika, ia menemukan bahwa rata-rata aktivitas seks yang dilakukan orang dewasa menurun dari 62 kali menjadi 54 kali dalam setahun.
Dari hasil wawancara Julian dengan para ahli soal penyebab resesi, kemungkinan fenomena ini terjadi karena banyaknya orang dewasa yang mengonsumsi antidepresan, mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, tekanan ekonomi, konsumsi video porno yang berlebihan, kurang tidur, obesitas, hingga terpengaruh cara mendidik orang tua.
"Beberapa ahli yang saya ajak bicara menjelaskan mengapa terjadi penurunan aktivitas seks. Misalnya, tingkat pelecehan seksual di masa kanak-kanak yang menyebabkan perilaku seksual sebelum waktunya hingga seks bebas," tulis Julian seperti dilansir CNN Indonesia.
Tak hanya itu, tekanan untuk berhubungan seks, ragam orientasi seksual, prioritas kehidupan yang berbeda-beda, dan kebebasan memilih pasangan hidup, menjadi alasan resesi seks itu terjadi.
Ilustrasi pekerja perempuan/ Foto: Unsplash |
Budaya Patriarki dan Pilihan Perempuan
Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok dikenal memiliki budaya patriarki yang kental dan terus lestari hingga saat ini. Walaupun perempuan kini mempunyai hak yang sama dalam sejumlah sektor tertentu, namun negara-negara tersebut secara tidak langsung tak mengizinkan perempuan memperoleh kesempatan untuk duduk di jabatan tinggi.
Budaya patriarki menilai bahwa pada akhirnya perempuan wajib mengurus rumah tangga dan anak-anak dengan baik, bukan untuk mengejar karier yang tinggi. Kalaupun ada ibu bekerja di suatu instansi, diskriminasi pun tak terelakkan terutama soal upah gender yang tidak adil. Belum lagi mahalnya biaya hidup menjadi alasan mengapa tak banyak orang yang tertarik untuk menikah ataupun memiliki anak saat ini.
Di Korea Selatan misalnya, banyak anak muda mengatakan bahwa mereka tidak seperti orang tua dan kakek-neneknya, mereka tidak merasa berkewajiban untuk berkeluarga. Faktor seperti ketidakpastian pasar kerja yang suram, harga rumah yang melambung, ketidaksetaraan gender dan sosial, tingkat mobilitas sosial yang rendah, dan biaya besar membesarkan anak menjadi alasannya.
"Singkatnya, orang mengira negara kita bukanlah tempat yang mudah untuk ditinggali. Mereka percaya anak-anak mereka tidak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik daripada mereka, jadi mempertanyakan mengapa mereka harus bersusah payah untuk memiliki bayi," kata Lee So-Young, pakar kebijakan kependudukan di Institut Korea untuk Urusan Kesehatan dan Sosial di Korea Selatan.
Semakin menurunnya angka kelahiran di negeri ginseng tersebut, The Guardian sampai memproyeksikan bahwa populasi Korea Selatan akan menyusut dari 52 juta orang pada saat ini, menjadi 38 juta orang pada 2070. Untuk pertama kalinya, proporsi rumah tangga lajang Korea Selatan menembus 40 persen pada tahun lalu. Jumlah pernikahan juga mencapai titik terendah sepanjang sejarah, yakni 193 ribu pernikahan pada 2021 akibat pilihan hidup mereka, terutama para perempuan.
(DIR/alm)