Perilaku membuang sampah sembarangan sepertinya telah menjadi budaya di Indonesia. Hal ini dibuktikan sekali lagi setelah seorang pengunjung konser Head in the Clouds mengunggah foto kondisi Community Park Pantai Indah Kapuk 2 setelah acara selesai. Dalam foto yang diambil pada hari pertama konser tersebut (3/12), terlihat area konser dipenuhi dengan tumpukan sampah yang didominasi oleh jas hujan sekali pakai.
Sampah yang berserakan sudah menjadi pemandangan yang rutin ditemui setiap kali ada event besar yang melibatkan ribuan orang. Hal serupa juga terjadi di festival musik Berdendang Bergoyang, di mana para panitia dikritik karena tak memiliki manajemen sampah yang baik sehingga mengakibatkan para pengunjung membuang sampah sembarangan. Panitia memang gagal menyediakan manajemen sampah, tapi pengunjung juga tidak memiliki tanggung jawab terhadap sampah yang mereka buang secara sembarangan.
Mungkin berbagai kesalahan fatal yang dilakukan oleh panitia Berdendang Bergoyang membuat kita luput terhadap tanggung jawab pengunjung, tapi Head in the Clouds yang penyelenggaraannya masih tergolong rapi kembali mengingatkan kita bahwa warga Indonesia memang seringkali tak bisa diandalkan untuk menjaga kebersihan.
Minimnya Rasa Tanggung Jawab
Selama ini, banyak yang berpendapat bahwa akar dari budaya buang sampah sembarangan adalah minimnya edukasi. Head in the Clouds membuktikan bahwa pandangan ini tidak tepat. Harga tiket paling murah untuk konser ini dibanderol dengan harga Rp2,5 juta untuk 2-days-pass. Dengan harga tersebut, bisa dibayangkan pengunjung konser HITC terdiri dari warga yang mampu secara ekonomi dan mampu mengakses pendidikan. Jadi, rasanya tak mungkin mereka tak pernah diajarkan mengenai perilaku menjaga kebersihan.
Beberapa pengunjung mengatakan bahwa salah satu penyebab dari sampah yang berserakan di HITC adalah karena minimnya tempat sampah yang disediakan oleh panitia. Padahal, semisal masalahnya adalah jumlah tempat sampah yang minim, hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan menyimpan sampah di kantung pakaian atau di tas agar bisa dibuang nanti. Tapi ternyata, hal sesederhana ini masih dianggap merepotkan bagi banyak warga.
Merespons keluhan mengenai sampah, panitia Head in the Clouds Jakarta langsung mengambil tindakan dengan memastikan adanya petugas kebersihan yang siap membereskan sampah-sampah di venue. "Don't worry. We have staff picking up all the trash at the end of each night to keep our land beautiful and clean when we are done," tulis panitia dalam unggahan di akun Instagram HITC Jakarta.
Alih-alih terdengar solutif, solusi dari panitia tersebut justru berisiko menormalisasi perilaku buang sampah sembarangan. Mengapa? Sebab dengan melemparkan seluruh tanggung jawab kepada petugas kebersihan, warga akan semakin merasa "tidak apa-apa saya buang sampah sembarangan, toh nanti ada yang membersihkan." Cara pikir ini telah menjadi keyakinan warga kelas menengah dan kelas atas yang mampu membayar tukang sampah untuk menjaga lingkungan mereka agar tetap bersih.
Nyaris di semua tempat ada tukang sampah; di pusat perbelanjaan, di sekolah, di kantor, hingga di perumahan. Artinya, selama ini kemampuan untuk menjaga kebersihan bukan dipengaruhi oleh edukasi, melainkan akses terhadap sistem pengelolaan sampah yang berbayar. Walhasil, warga yang terbiasa mengandalkan tukang sampah akan merasa "bodo amat" dan tak memiliki tanggung jawab terhadap sampah yang mereka buang.
Memang mudah untuk menyalahkan minimnya edukasi sebagai akar dari semua perilaku problematis yang dimiliki masyarakat. Tapi apa gunanya edukasi kalau sedari awal orang-orang tak memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan? Mungkin, sekali-kali harus ada acara yang tidak mengandalkan jasa tukang sampah, sehingga para pengunjung bisa belajar caranya bertanggung jawab untuk sampah mereka sendiri.
(ANL/alm)