Kalau kalian pernah membaca novel Crazy Rich Asians karya Kevin Kwan, kalian pasti menyadari kalau tema utama dalam cerita ini sebenarnya bukanlah percintaan antara si pewaris kaya raya dengan si warga kelas menengah. Meski dibumbui dengan romcom, Kevin Kwan secara halus membongkar kehidupan para old money yang diam-diam menguasai perekonomian Asia Tenggara. Kaum old money sendiri adalah kelompok yang memiliki dunianya sendiri, mereka bukanlah orang kaya yang umum ditemui di pusat perbelanjaan elit atau pergi ke luar negeri setahun dua kali untuk berlibur. Mereka adalah segelintir orang yang dianggap sebagai top tier masyarakat kelas atas, dengan harta yang tidak akan habis sampai 7 turunan.
Sebaliknya, para new money alias orang kaya baru-meskipun sama-sama menyandang predikat sebagai orang kaya di mata awam-menempati kasta di bawah old money. Berbeda dengan old money yang dipandang sebagai kaum terpandang dan terhormat, para new money biasanya distigma sebagai orang kaya yang norak, kurang prestise, dan clueless. Salah satu stereotip yang dilekatkan kepada para new money adalah mengenai hobi mereka belanja barang-barang luxury brand yang flashy dan terkesan sedang memamerkan kekayaan. Perbedaan stigma terhadap dua kaum ini menimbulkan sebuah pertanyaan: meski sama-sama kaya, mengapa ada pemisahan dan perbedaan stigma terhadap dua kelompok ini?
Kekayaan yang Diwariskan vs Kekayaan yang Dihasilkan
Sebelum membahas mengenai stigma terhadap new money, kita harus memahami dulu apa yang membuat kedua kelompok ini berbeda. Old money adalah kelompok kelas atas yang kekayaannya diwariskan secara turun-temurun, sehingga kekayaan mereka bisa dilacak hingga ke beberapa generasi sebelumnya. Sementara itu, kaum new money atau nouveau riche adalah kalangan orang sukses self-made yang berhasil menghasilkan kekayaan dan "memanjat" kelas sosial melalui usahanya sendiri.
Perbedaan lainnya dari kedua kelompok ini adalah bagaimana mereka menghabiskan uang. Banyak yang bilang, warga kelas atas yang benar-benar kaya tidak akan berpenampilan seperti orang kaya. Mereka akan terlihat seperti warga biasa, dengan baju sehari-hari dan aksesoris yang minim. Sebaliknya, warga kelas atas yang sebenarnya tidak terlalu kaya, justru akan berpenampilan se-mewah dan se-mencolok mungkin; lengkap dengan outfit dan aksesoris dari desainer ternama.
Tapi jangan salah, dikotomi antara old money dan new money lebih berkaitan dengan status sosial ketimbang jumlah kekayaan. Hal ini menyebabkan adanya persepsi dan perlakuan yang berbeda terhadap old money dan new money. New money bisa saja memiliki kekayaan yang setara atau lebih dari old money, namun mereka tetap tidak akan bisa menembus lingkaran elit old money yang eksklusif. Sebaliknya, kaum old money yang sudah jatuh bangkrut sekalipun tetap akan dipandang sebagai keluarga yang terhormat dan terpelajar.
Tak Ada Salahnya Memiliki Aspirasi Menjadi Orang Kaya
New money lebih sering mendapatkan cemoohan ketimbang pujian dari orang-orang. Kalau direnungkan, stigma buruk terhadap mereka mencerminkan pola pikir classist yang meromantisasi eksklusivitas dan melanggengkan kesenjangan kelas. Semua orang pasti memiliki aspirasi untuk menjadi orang kaya. Siapa yang tidak ingin mewarisi harta kekayaan keluarga dan tidak harus bekerja membanting tulang setiap hari? Impian semua orang ini adalah realita bagi kaum old money, sedangkan kaum new money adalah mereka yang sukses mewujudkannya melalui usaha sendiri.
Lagipula, semua old money pasti berangkat dari new money—semua kekayaan itu pasti bermula dari satu orang yang berhasil memajukan bisnisnya. Hanya saja, mereka lebih dulu menjadi orang kaya dan berhasil mempertahankan kekayaannya selama puluhan hingga ratusan tahun. Keluarga Rothschild di Eropa, misalnya, mendapat kekayaan dari leluhur mereka yaitu Mayer Rothschild yang berprofesi sebagai bankir di abad ke-18. Mayer Rothschild bersama kelima anaknya mengembangkan bisnis keluarga mereka hingga menjadi salah satu bank swasta terkemuka di dunia.
Perbedaan dalam cara menghabiskan uang antara old money dan new money juga sangat wajar, sebab old money—yang seumur hidupnya sudah terbiasa dengan kekayaan—pasti tidak akan mengerti daya tarik dari menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang sebelumnya tidak pernah mereka miliki. Sementara itu bagi para new money, membeli dan memakai barang-barang mewah adalah bentuk selebrasi terhadap kekayaan yang baru saja mereka dapatkan.
Masyarakat boleh jadi menganggap old money sebagai kaum elit yang terhormat, tapi tak bisa dipungkiri kalau segala yang mereka miliki hari ini bisa ada di tangan mereka karena faktor keberuntungan, yaitu dilahirkan di keluarga yang tepat. Sebaliknya, new money yang seringkali dipandang sebelah mata sebenarnya adalah hal yang aspirasional, karena secara teknis, semua orang bisa menjadi new money. Jadi, sah-sah saja apabila new money menghabiskan uang mereka untuk hal-hal yang mereka sukai. Toh uang itu juga mereka dapatkan berkat usaha mereka sendiri. Justru, kita yang harus berhenti meromantisasi old money. Sebab kekayaan dan status sosial tidak seharusnya dibatasi untuk segelintir orang.
(ANL/alm)