Sejak beberapa hari yang lalu, Bali dipenuhi oleh tamu VVIP dari seluruh dunia yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G20. Semua pemimpin negara dan perwakilan lembaga internasional yang memegang peran penting dalam perekonomian global hadir di sini. Di antara mereka ada Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, Presiden Republik Korea Selatan Yoon Suk-yeol, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Bali Summit yang diadakan pada tanggal 15-16 di Bali ini merupakan puncak dari presidensi Indonesia dalam G20 yang sudah dimulai sejak Desember 2021. G20 atau Group of Twenty sendiri merupakan forum internasional yang fokus membahas ekonomi dunia. Anggotanya terdiri dari 19 negara dan 1 kawasan, yaitu Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Republik Rakyat Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Republik Korea, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Mata dunia pun tertuju kepada Indonesia yang mendapat giliran sebagai tuan rumah. Berbagai persiapan dilakukan sejak jauh-jauh hari untuk memastikan KTT di Bali berjalan dengan aman, nyaman, dan sukses. Namun, penyelenggaraan G20 tahun ini juga tidak luput dari kontroversi karena dinilai menjadi ajang bagi pemerintah Indonesia untuk memoles nama baik. Bagaimana detail pelaksanaannya?
Transisi Energi Jadi Salah Satu Isu Utama
Sebagai tuan rumah, Indonesia mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger" yang menyoroti pemulihan ekonomi dunia dan komitmen untuk masa depan. Ada tiga isu utama yang akan dibahas di G20 tahun ini, yaitu arsitektur kesehatan global, energi berkelanjutan, dan transformasi digital. Rencananya, ketiga isu ini juga akan dibawa oleh Jokowi ke dalam keketuaan ASEAN yang akan dipegang oleh RI mulai Januari 2023.
Topik energi berkelanjutan sendiri cukup hangat diperbincangkan selama acara berlangsung, melihat pentingnya membangun kerjasama ekonomi dalam rangka mengatasi krisis iklim. Untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap energi berkelanjutan, pemerintah telah menyiapkan 143 unit kendaraan listrik yang terdiri dari bus, mobil, dan motor, untuk digunakan oleh para delegasi selama acara berlangsung.
Selain ketiga topik utama di atas, Presiden Jokowi juga menggunakan momentum G20 untuk meminta kepada kepala negara agar menjaga perdamaian dan tidak berperang satu sama lain. "Being responsible here also means that we must end the war. If the war does not end, it will be difficult for the world to move forward," ucap Jokowi dalam pidatonya dilansir dari Detik. Sebagai informasi, Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri absen dalam KTT ini.
Aktivitas Warga dan Kebebasan Berpendapat Dibatasi
Meski G20 membawa semangat untuk tumbuh, tapi penyelenggaraan KTT G20 tahun ini tidak luput dari beberapa kejanggalan. Menjelang diselenggarakannya KTT, pemerintah mengambil langkah pengamanan yang cukup drastis. Beberapa minggu sebelum G20 dilangsungkan, Gubernur Bali menerbitkan Surat Edaran mengenai pembatasan kegiatan masyarakat. Berdasarkan surat edaran tersebut, pembatasan kegiatan masyarakat dilakukan pada 12-17 November 2022 di tiga wilayah yaitu Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Selatan, dan wilayah Denpasar Selatan.
Di wilayah-wilayah tersebut, semua aktivitas warga kecuali fasilitas kesehatan akan dibatasi seperti pada saat pemberlakuan PPKM. Artinya, semua kegiatan pendidikan, perkantoran, bahkan upacara adat dan keagamaan, harus dilakukan secara daring dari rumah. Tak hanya jalur darat yang dikosongkan, jalur laut pun juga diamankan. Bahkan, para nelayan juga diimbau agar tidak melakukan penangkapan ikan demi alasan keamanan untuk mencegah terorisme dari jalur laut. Banyak yang menilai, pembatasan ini berlebihan dan pemerintah terkesan paranoid.
Menjelang KTT, sejumlah kegiatan masyarakat dalam berekspresi dan berpendapat juga mengalami intimidasi. Salah satunya, yaitu ketika tim Chasing the Shadow dari Greenpeace dihadang oleh sekelompok orang di Probolinggo yang mengaku sebagai anggota ormas. Mereka dihadang saat bersepeda menuju Bali untuk melakukan kampanye krisis iklim. Salah satu anggotanya pun diminta untuk menandatangani surat pernyataan agar tidak melanjutkan perjalanan selama KTT G20 berlangsung di Bali. Tak hanya itu, konsolidasi Lembaga Bantuan Hukum pun juga mendapatkan intimidasi dari sejumlah orang yang diduga sebagai aparat.
Adanya pembatasan aktivitas besar-besaran dan represi membuat publik bertanya-tanya: untuk siapa sebenarnya G20 diadakan? Pasalnya, publik berhak untuk mengemukakan pendapat dan berpartisipasi secara aktif dalam agenda-agenda G20. Dengan berbagai kejanggalan ini, banyak yang merasa bahwa pemerintah berusaha untuk memoles citra Indonesia. Logikanya, kalau Indonesia sedang baik-baik saja, lantas mengapa kegiatan warga dan kebebasan berekspresi dibatasi? Kalau warga tak diberi ruang dalam hajatan di negaranya sendiri, maka pada akhirnya G20 hanya akan menjadi forum elit belaka.
(ANL/alm)