Demi menjawab ancaman krisis pangan saat pandemi, pemerintah menetapkan program Food Estate sebagai Proyek Strategis Nasional. Harapannya, dengan membuka sawah baru dan mendirikan lumbung pangan, pasokan makanan dalam negeri tidak akan mengalami kekurangan. Presiden Joko Widodo pun menunjuk Kementerian Pertahanan yang dikepalai oleh Prabowo Subianto sebagai penggerak utama proyek ini. Tiga daerah akhirnya dipilih menjadi lokasi food estate yaitu Sumatera Utara, Kalimantan, dan NTT.
Di Kalimantan Tengah, pemerintah menyulap lahan seluas 165.000 hektare yang terdiri dari hutan lindung dan lahan gambut menjadi lahan pertanian yang ditanami padi dan singkong. Namun 2 tahun sejak proyek ini dimulai pada 2020, kondisi proyek food estate sekarang justru tampak menyedihkan. Kegagalan ini terlihat salah satunya di daerah Gunung Mas, di mana 600 hektare hutan hujan telah dibabat habis untuk ditanami singkong. Temuan Greenpeace di lapangan menunjukkan hamparan lahan yang terbengkalai serta tanaman singkong yang jauh dari kata subur.
Lebih mengherankan lagi, ini bukan pertama kalinya program food estate mengalami kegagalan. Situasi serupa pernah terjadi di era Presiden Soeharto yang pada saat itu menggagas Mega Rice Project di Kalimantan, serta di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menggagas Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke. Pertanyaannya, mengapa pemerintah mengulang kesalahan yang sama?
Food Estate, Solusi yang Salah Kaprah
Alasan utama yang menjadi pembenaran pemerintah untuk membabat hutan dan membuka lahan pertanian adalah karena adanya ancaman krisis pangan. Menurut mereka, alih fungsi lahan gambut dan hutan lindung adalah langkah yang mau tak mau harus diambil agar jutaan penduduk Indonesia tak kelaparan. Tak tanggung-tanggung, pemerintah menganggarkan Rp104 triliun untuk ketahanan pangan, termasuk program food estate. Tapi, benarkah food estate adalah solusi brilian yang kita butuhkan?
Perlu dicatat, ketahanan pangan berbeda dengan swasembada pangan. Ketahanan pangan pada dasarnya adalah ketika semua warga negara bisa mengakses pangan yang aman dan bergizi. World Resources Institute menjabarkan beberapa alasan mengapa food estate bukanlah solusi tepat untuk mencapai ketahanan pangan. Pertama, masalah utama di Indonesia adalah soal distribusi bukan ketersediaan dan food estate tidak menyelesaikan masalah tersebut. Kedua, food estate tidak bisa menjadi solusi atas keterbatasan akses terhadap pangan yang sehat. Pasalnya, penyebab utama dari masalah ini adalah daya beli yang lemah, dan lagi-lagi, bukan karena kurangnya ketersediaan pangan.
Di luar itu, food estate juga tidak akan mampu mendukung kedaulatan pangan karena sedari awal ia hanya mengakomodasi kebutuhan pangan yang Jawa-sentris. Masyarakat di Pulau Jawa bisa saja memiliki pemahaman yang berbeda dengan masyarakat di Papua atau NTT mengenai "pangan yang bergizi".
Sementara itu, food estate hanya menghasilkan komoditas strategis yang bisa diekspor, seperti padi, singkong, dan jagung. Jadi selain menghilangkan keanekaragaman pangan lokal, proyek ini juga mendiskreditkan praktik pertanian berbasis kearifan lokal yang selama ini sudah diterapkan oleh petani dan masyarakat adat.
Food Estate/ Foto: Greenpeace |
Bencana Bagi Lingkungan dan Masyarakat
Meski tak ada bukti nyata food estate bisa menjadi solusi ketahanan pangan, pemerintah melakukan segala cara agar proyek ini bisa terlaksana. Padahal, para pakar sudah memberi peringatan mengenai konsekuensi kerusakan lingkungan yang bisa ditimbulkan food estate. Pakar Manajemen Risiko Iklim dari Institut Pertanian Bogor, Rizaldi Boer, pernah mengatakan bahwa proyek lumbung pangan bisa mengancam komitmen Indonesia untuk mengatasi krisis iklim, yang seharusnya bisa dicapai dengan penurunan luas deforestasi dan perbaikan pengelolaan lahan gambut.
Hutan dan lahan gambut adalah ekosistem yang memiliki peran penting untuk mencegah banjir dan mengatasi krisis iklim. Masyarakat setempat adalah pihak yang paling merasakan dampak dari food estate. Pada tahun 2021 sebanyak 8 kabupaten di Kalimantan Tengah terendam banjir. Mungkin lumbung pangan bukan satu-satunya penyebab banjir, tapi dengan berkurangnya daerah resapan air, tak bisa dimungkiri bahwa risiko bencana akan semakin meningkat. Petani pun semakin merugi, karena gagal panen akibat banjir menjadi tak terhindarkan.
Idealnya, sebelum izin food estate diterbitkan, pemerintah seharusnya terlebih dahulu membuat analisis lingkungan, ekonomi, dan sosial yang mendalam. Kalau hal ini tak dilakukan, wajar saja proyek ini lebih banyak membawa kerugian. Masyarakat juga tak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan food estate. Sebaliknya, ruang hidup mereka terampas oleh tentara dan perusahaan yang ditugaskan untuk mengamankan lahan proyek.
Hutan sudah terlanjur dibabat, namun food estate justru mendatangkan bencana bagi lingkungan dan masyarakat. Sementara itu di forum G20 yang saat ini tengah berlangsung, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membanggakan program lumbung pangan yang menurutnya bisa berkontribusi untuk ketahanan pangan global.
(ANL/DIR)