Terkadang sulit untuk membayangkan bagaimana orang-orang di masa lampau hidup tanpa teknologi. Perihal komunikasi, misalnya, pada abad pertengahan orang-orang menggunakan burung merpati untuk komunikasi jarak jauh-semakin jauh lokasi yang dituju, semakin lama pesannya tersampaikan. Fast forward ke era modern, komunikasi jarak jauh tak lagi menjadi persoalan. Setelah adanya internet dan teknologi chat messenger, jarak menjadi tak relevan lagi ketika mengirim pesan-dalam hitungan detik kita bisa mengirim pesan singkat ke orang-orang di belahan dunia lain.
Chat messenger telah menjadi saluran komunikasi nomor satu di abad 21, coba tengok saja kanan-kiri, tak ada yang tak menggunakan teknologi ini. Mulai dari mengirim pesan kepada keluarga hingga meng-update pekerjaan kepada atasan, semuanya dilakukan melalui kanal ini. Menurut data dari Messenger People, hampir 4 miliar orang di dunia menggunakan aplikasi pesan instan; terdiri dari 2 miliar pengguna WhatsApp, 1.2 miliar pengguna WeChat, dan hampir 1 miliar pengguna Facebook Messenger.
Dengan jumlah pengguna yang hampir lebih dari separuh populasi dunia, bisa dibayangkan betapa krusialnya peran chat messenger bagi masyarakat modern. Namun, semuanya berubah menjadi petaka ketika chat messenger ini mendadak eror dan tak bisa digunakan untuk mengirim pesan. Contohnya, 2 minggu yang lalu tiba-tiba saja WhatsApp mengalami gangguan atau down selama berjam-jam. Walhasil, banyak orang kalang kabut karena tak bisa mengirim pesan.
Meski chat messenger memberikan banyak kemudahan, tapi fenomena tersebut pada akhirnya mengungkap betapa tergantungnya kita terhadap teknologi yang satu ini. Satu hari saja chat messenger mengalami gangguan bisa berakibat pada bencana komunikasi dalam skala besar. Sebab, teknologi ini juga tak hanya digunakan untuk komunikasi personal, tapi juga untuk komunikasi formal, seperti ke atasan dan rekan kerja atau ke dosen. Apapun bentuk komunikasinya, chat messenger menjadi pilihan utama yang menampung semuanya.
Namun, masalah ini juga tercipta ketika kita terlalu bergantung kepada satu aplikasi chat messenger. Di Indonesia, misalnya, tak ada aplikasi lain yang bisa menandingi jumlah pengguna WhatsApp. Meski kini berbagai perusahaan telah beralih ke saluran lain seperti Slack dan Telegram, tapi masih ada banyak perkantoran yang sangat bergantung dengan WhatsApp. Menurut pakar keamanan siber Pratama Persada, penting bagi masyarakat agar memiliki aplikasi alternatif yang bisa digunakan untuk mengirim pesan. Dengan demikian, kita tidak perlu panik lagi ketika chat messenger andalan mengalami gangguan.
Imbauan dari Pratama Persada tersebut layak untuk diperhatikan. Mengubah ketergantungan kita terhadap chat messenger akan menjadi hal yang mustahil, sebab memang teknologi ini sudah bersifat esensial. Maka dari itu yang bisa dilakukan adalah menambah variasi aplikasi yang digunakan, agar tidak bergantung ke satu perusahaan teknologi saja. Misalnya, perusahaan yang masih menggunakan WhatsApp sebagai kanal komunikasi utama bisa mulai mempertimbangkan untuk melakukan migrasi ke platform komunikasi alternatif. Misalnya, dengan memanfaatkan Slack atau Telegram, para pekerja bisa mengantisipasi apabila WhatsApp mengalami gangguan. Selain itu, penggunaan platform komunikasi alternatif juga bisa membantu kita untuk memisahkan saluran komunikasi sesuai kebutuhan-ada yang khusus bekerja dan ada yang khusus komunikasi sehari-hari.
Pada akhirnya, fenomena ini mengingatkan kembali bahwa komunikasi serba cepat telah menjadi salah satu karakteristik dari masyarakat di era digital. Roda ekonomi dan kegiatan sehari-hari tak akan mampu berjalan seperti sekarang tanpa adanya chat messenger. Tapi kita juga harus ingat, bahwa teknologi pasti juga memiliki kelemahan dan suatu saat akan mengalami gangguan. Ketika hal ini terjadi, kita harus mampu mengantisipasinya.
(ANL/tim)