Saat ini, Korea Selatan sedang melakukan aksi besar-besaran untuk memboikot Paris Baguette. Jaringan toko roti yang telah berdiri selama 36 tahun tersebut dikecam habis-habisan setelah seorang karyawannya ditemukan tewas di sebuah pabrik di daerah Pyeongtaek.
Seorang karyawan perempuan berusia 23 tahun dilaporkan tengah mengoperasikan mesin pencampur saus sendirian saat shift malamnya, namun kemudian ia tertarik ke dalam alat tersebut hingga tubuhnya yang hancur pun ditemukan keesokan hari oleh para rekan kerjanya. Yang gilanya, pabrik tetap beroperasi menjalankan produksi keesokan harinya. Bahkan, karyawan yang melihat dan menarik tubuh si korban pun tetap diharuskan bekerja di lokasi kecelakaan.
Hal ini memicu protes yang besar dari warga Korea Selatan terhadap Paris Baguette dan perusahaan induknya, SPC Group. Mereka juga berencana memboikot brand F&B yang berafiliasi dengan SPC Group seperti Dunkin Donuts, Baskin Robbins, Shake Shack, dan lainnya.
Setelah ditelusuri, mesin pencampur saus itu seharusnya dioperasikan oleh dua orang. Dengan adanya penyimpangan standar keamanan bekerja serta tindakan tidak berperikemanusiaan untuk terus melanjutkan produksi satu hari setelah insiden malang menimpa karyawannya, amarah warga Korea Selatan pun tak terbendung lagi. Terlebih, ditemukan bahwa ada insiden yang terjadi satu minggu sebelumnya dimana tangan seorang karyawan tersangkut di mesin produksi tapi ia tidak dilarikan ke rumah sakit karena statusnya yang bukan pekerja tetap.
Roti kiriman Paris Baguette di rumah korban/ Foto: VOP |
Boikot massal dari masyarakat Korea tidak kian surut terlebih saat mereka mengetahui bahwa perusahaan itu mencoba untuk berdamai dengan memberikan kompensasi kepada keluarga korban di malam pemakamannya. Tak hanya itu, Paris Baguette bahkan mengirimkan 'care package' berisi kotak penuh dengan roti untuk tamu-tamu yang datang ke pemakaman. "How can they send bread from the place where she died? Does that make any sense?" ucap Ibu sang korban kepada MBC dalam merespon tindakan perusahaan yang nirempati tersebut.
Kasus ini jadi satu dari banyak contoh minimnya rasa kemanusiaan di tengah orang yang sedang berduka. Gestur tidak peka dan nirakal kepada orang yang sedang berkabung atas kehilangan kerabat terdekatnya seringkali diekspresikan tanpa sadar. Kalimat seperti, "Kamu nggak apa-apa?" atau, "Kamu jangan sedih, nanti (yang meninggalkan) juga ikut sedih," atau bahkan kalimat seperti, "Tapi udah ada feeling, nggak?" baiknya tidak dilontarkan sama sekali.
Sayangnya, hal ini juga kerap dilakukan oleh oknum dengan audiens besar seperti pihak media. Alih-alih bersimpati dan menyebarluaskan kabar duka, korban malah dibombardir dengan pertanyaan yang insensitif.
Saat berduka merupakan periode sensitif/ Foto: Pexels: Rodnae Productions |
Menunjukkan simpati itu boleh, tapi ada baiknya untuk memilih kata-kata yang tepat dan bijak agar tidak menyinggung perasaan seseorang yang sedang kehilangan. Orang yang sedang berduka bisa saja sedang mengalami fase paling menyedihkan dalam hidupnya. Saat fase kritis ini, mereka merasakan emosi yang mentah dan mendalam; tak harus selalu melulu sedih, mereka juga bisa merasa marah ataupun bersalah. Jadi, menghakimi perasaan seseorang yang sedang berkabung juga sebaiknya tak perlu dilakukan.
Memang, naluri manusia saat menghadapi orang yang sedang dilanda kesedihan mendalam adalah dengan mencoba untuk menghiburnya. Namun, ketika menyangkut tentang kematian, hampir tidak ada yang bisa kita ucapkan untuk menghilangkan rasa sakit. Yang bisa dilakukan adalah menyampaikan rasa turut berduka dan kehilangan atas berpulangnya mereka dan mengatakan bahwa kita akan selalu ada untuk mendukungnya.
(HAI/alm)