Kekerasan seksual kini menjadi isu yang penting untuk segera ditanggulangi, terutama di ranah satuan pendidikan. Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tercatat mulai Januari-Juli 2022, terdapat 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi. Dan 9 dari 12 kasus tersebut di antaranya terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama seperti madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan.
Menilai hal tersebut Kemenag akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
"Setelah melalui proses diskusi panjang, kita bersyukur PMA tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama akhirnya terbit dan sudah diundangkan per 6 Oktober 2022," ucap Juru Bicara (Jubir) Kemenag, Anna Hasbie seperti dikutip laman Kemenag.
Adapun PMA ini terdiri atas 7 BAB yaitu, ketentuan umum; bentuk kekerasan seksual; pencegahan; penanganan; pelaporan, pemantauan, dan evaluasi; sanksi; dan ketentuan penutup. Sehingga bila dijumlahkan terdapat 20 pasal. PMA tersebut, kata Anna, mengatur bentuk kekerasan seksual mencakup perbuatan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Setidaknya terdapat 16 klasifikasi bentuk kekerasan seksual, termasuk menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi, atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan identitas gender korban itu sendiri. Anna pun menjelaskan semua itu termasuk menyampaikan ucapan seperti rayuan, lelucon bernada seksis atau menjurus, dan siulan yang bernuansa seksual pada korban.
"Termasuk juga menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman," kata Anna. Agar aturan ini dijalankan dengan baik di satuan Pendidikan, harus dilakukan sosialisasi, pengembangan kurikulum dan pembelajaran, penyusunan SOP pencegahan, serta pengembangan jaringan komunikasi. Satuan pendidikan pun harus berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, satuan pendidikan lain, masyarakat, dan tentu saja orang tua peserta didik.
"Terkait penanganan, PMA ini mengatur tentang pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan korban. Sanksi pun juga diatur bagi para pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap seperti sanksi pidana dan sanksi administratif," jelas Anna. Ia pun berharap dengan diberlakukannya aturan ini, tidak ada lagi kekerasan seksual di satuan pendidikan dan anak-anak pun bisa nyaman menuntut ilmu tanpa harus khawatir keselamatannya.
Langkah Kemenag untuk membuat aturan tentang kekerasan seksual di ranah sekolah merupakan tindakan tepat. Mengingat kasus-kasus seperti ini semakin marak terjadi pada anak-anak usia sekolah. Meski begitu, peran masyarakat dan keluarga pun juga turut andil dalam kesuksesan aturan ini ke depannya. Sebab tidak mudah untuk mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual karena terkendala stigma aib yang melekat pada korban.
(DIR/tim)