Salah satu faktor kesejahteraan suatu daerah atau suatu negara adalah tersedianya pelayanan kesehatan yang baik. Seperti stok obat-obatan yang memadai, kelengkapan peralatan kedokteran, hingga jumlah dokter umum dan spesialis itu sendiri. Baru-baru ini, seorang ibu mengaku berasal dari Manado, Sulawesi Utara, jauh-jauh pergi ke Jakarta untuk memperoleh pengobatan anaknya yang mengidap kanker otak.
Ia mengaku, kedatangannya tersebut dikarenakan ketersediaan peralatan medis dan dokter spesialis yang bisa menangani anaknya sangat minim. Sehingga pihak rumah sakit di daerahnya pun merujuk anak dari ibu tersebut untuk datang ke Jakarta. Hal ini tentu saja bukan suatu yang mudah apalagi murah. Mengingat biaya perawatan kanker di Indonesia dan juga akomodasinya pun harus merogoh kocek yang cukup dalam.
Tak heran ini menjadi salah satu sorotan, sebab persebaran dokter di Indonesia dirasa tidak merata. Tapi mengapa kita harus peduli dan tahu tentang persoalan ini?
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, salah satu indikator kesejahteraan masyarakat adalah ketersediaan tenaga kesehatan yang mumpuni dalam suatu daerah. Namun menurut data tahun 2021, tenaga kesehatan di Indonesia semakin menyusut karena pandemi COVID-19. Misalnya pada tahun 2018, ketersediaan tenaga dokter hanya ada 23 dokter per 100.000 penduduk. Padahal standar World Health Organization (WHO) mengharuskan 1 dokter per 1.000 penduduk.
Ilustrasi dokter spesialis/ Foto: Freepik |
Kemudian, pada survei yang dilakukan Data Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, jumlah tenaga medis di Indonesia per tahun 2021, mencapai 173.779 orang dengan persebaran, 103.771 dokter umum, 41.891 dokter spesialis, 23.934 dokter gigi, 3.243 dokter gigi spesialis, 685 dokter sub-spesialis, dan 311 dokter sub-spesialis dasar. Meskipun jumlah dokter di Indonesia terlihat banyak, namun melihat jumlah daerah di Indonesia, termasuk kota dan daerah terpencil, angka tersebut nyatanya masih kurang untuk memenuhi standar kesehatan di setiap wilayahnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, saat ini jumlah lulusan dokter di Indonesia hanya 12 ribu orang per tahun. Sehingga, jika tidak ada perubahan yang signifikan, bisa-bisa Indonesia akan lebih kekurangan tenaga medis dan dapat mengancam naiknya angka kematian di Indonesia. Ditambah jumlah dokter spesialis juga sangat minim dan dampaknya dapat membuat pasien yang membutuhkan penanganan cepat berakhir meninggal dunia.
"Alatnya sudah ada, masalahnya dokter spesialis kita sangat kekurangan. Kita sangat kekurangan dokter spesialis, dan ribuan bahkan puluhan ribu masyarakat kita meninggal setiap tahunnya karena kekurangan dokter umum dan dokter spesialis," kata Budi dikutip dari Kemenkes.
Salah satu dokter spesialis yang dibutuhkan adalah spesialis penyakit dalam. Sebab di Indonesia, penyakit jantung merupakan faktor penyebab kematian tertinggi saat ini. Menurutnya, saat ini pemerintah tengah berupaya untuk melakukan pemerataan dokter spesialis terutama kardiovaskular, karena dari 34 provinsi, hanya 28 provinsi saja yang bisa melakukan pembedahan jantung. Ditambah lagi permasalahan mengenai biaya penanganan yang terlampau tinggi.
Ilustrasi dokter spesialis/ Foto: Freepik |
Menjawab rencana pemerintah untuk melakukan pemerataan, Ikatan Dokter Indonesia, melalui ketuanya, dr. Adib Khumaidi seperti dikutip kumparan mengatakan bahwa jika Indonesia tak mampu menghadirkan dokter spesialis dalam kurun waktu 3 tahun lagi, maka dokter spesialis di Indonesia kemungkinan akan digantikan oleh dokter asing. Yang artinya, biaya yang harus dikeluarkan untuk penanganannya pun lebih membengkak dari sekarang.
Solusi yang ditawarkan untuk percepatan ini adalah mengubah sistem pendidikan dokter yang tadinya University Based menjadi Hospitality Based. "Yang bisa dilakukan upayanya adalah meningkatkan jumlah institusi pendidikan untuk membuka spesialis. Itu yang pertama. Kedua, di luar negeri kita memakai model lama sekarang Hospital base. Kita mesti dorong sekarang tentang dua model yang sejalan dengan hospitality basenya agar bisa memproduksi dokter spesialis," paparnya.
Biaya Pendidikan Dokter Spesialis yang Tak Murah
Seperti yang kita tahu, kuliah di bidang yang satu ini tidaklah murah. Pendidikan dokter umum misalnya, untuk menjadi S1 kedokteran, kamu harus menyiapkan biaya sekitar Rp 150 juta*. Itupun belum termasuk biaya program profesi lanjutan setelah S1, yakni sebesar Rp 7,5-15 juta. Sementara untuk pendidikan dokter spesialis, biaya ditentukan dari spesialisasi apa yang akan kamu ambil.
Misalnya kamu ingin mengambil spesialisasi ilmu penyakit dalam. Untuk program reguler, kamu harus menyiapkan dana sekitar Rp 26 juta. Sementara untuk program khusus, kamu harus merogoh kantong lebih mahal yakni sekitar Rp 61 juta. Lalu, program spesialis ilmu bedah kardiovaskular yang kini tengah dibutuhkan pemerintah, untuk program reguler kamu membutuhkan Rp 23,5 juta, sedangkan program khusus Rp 41 juta.
Semua biaya tersebut adalah dana yang harus kamu tanggung sendiri dan belum termasuk beasiswa yang bisa kamu dapatkan dari pemerintah atau swasta bila kamu ingin lebih murah. Dengan melihat biaya yang sebesar ini, tak mengherankan bila banyak dokter umum yang enggan melanjutkan pendidikan ke bidang spesialis. Topik ini pun semestinya menjadi concern pemerintah mencari solusi pendidikan kedokteran spesialis yang lebih murah, agar kuota dokter spesialis di Indonesia segera terpenuhi demi kesejahteraan masyarakatnya.
*Menurut data Universitas Indonesia
(DIR/tim)