Konflik antara brand dan konsumen kembali terjadi, kali ini melibatkan perusahaan food and beverage Esteh Indonesia. Konflik ini bermula ketika pengguna Twitter @Gandhoyy mencuit pendapatnya mengenai produk minuman Chizu Red Velvet dari Esteh Indonesia yang menurutnya terlalu manis dan seperti mengandung gula 3 kilogram. Cuitan ini akhirnya mendorong perbincangan di linimasa mengenai Esteh yang tidak pernah menginformasikan nilai gizi dan kadar gula dari minuman-minumannya.
Drama pes-esteh-an ini pun berlanjut dengan pihak Esteh Indonesia yang melayangkan somasi untuk pengguna @Gandhoyy. Dalam somasi yang ditujukan untuknya, pihak Esteh Indonesia mengatakan bahwa mereka selalu terbuka dengan kritik, akan tetapi "kritik dan penghinaan atau informasi yang menyesatkan adalah dua hal yang berbeda." Ada 2 poin yang menjadi keberatan Esteh, yaitu pernyataan Chizu Red Velvet seperti mengandung gula 3 kg dan penggunaan kata-kata "hewan" atau kata yang kurang baik yang ditujukan untuk perusahaan tersebut.
Pihak Esteh pun menuntut pemilik akun untuk segera menghapus unggahannya dan memberi klarifikasi. Melalui Twitter, pemilik akun @Gandhoy menyampaikan permintaan maafnya kepada PT Esteh Indonesia Makmur karena telah "mencela produk yang ia konsumsi dan menyebabkan kerugian pada perusahaan minuman terkait."
Ini bukan pertama kalinya konsumen disomasi oleh brand karena mengkritik suatu produk atau jasa di media sosial. Tahun lalu, brand outdoor wear Eiger memberi somasi kepada salah satu YouTuber yang membuat honest review terhadap salah satu produknya karena video ulasan tersebut dianggap kurang berkualitas. Padahal, YouTuber tersebut bukan influencer yang di-endorse.
Tak hanya somasi, kasus seperti ini juga pernah berujung di pengadilan. Stella Monica, seorang konsumen klinik kecantikan L'VIORS dijerat pasal UU ITE karena curhat soal layanan yang tidak memuaskan di media sosial. Untungnya, ia divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Ilustrasi Review/ Foto: Freepik |
Sebagai penyedia produk atau jasa, kepuasan konsumen seharusnya menjadi prioritas bagi brand-brand di atas. Namun ketika ada konsumen yang menuangkan kritik di media sosial, brand-brand ini malah defensif dan balik menyerang konsumen dengan somasi atau bahkan menempuh jalur hukum dengan menggunakan UU ITE sebagai senjata. Memang, era digital telah mempermudah konsumen untuk menuangkan keluh kesah mereka terhadap produk atau layanan yang tidak memuaskan. Masalahnya, ketika 'curahan hati' mereka viral, perusahaan menjadi kalang kabut dan akhirnya memanfaatkan pasal karet UU ITE untuk mempertahankan nama baik mereka.
Sedangkan menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, keluhan atau komplain konsumen dilindungi di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pasal 4 huruf d menyatakan bahwa konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Pun ketika ada kritik konsumen yang dinilai merugikan pelaku usaha, seharusnya ditempuh jalur mediasi sehingga ada titik temu.
Kasus Esteh Indonesia semakin menegaskan bahwa semua orang bisa terkena dampak pasal karet UU ITE yang rentan untuk disalahgunakan terutama oleh pihak-pihak yang memiliki power dan sumber daya. Lagipula, perusahaan seharusnya sadar bahwa meneror konsumen dengan somasi dan UU ITE hanya akan mengurangi rasa kepercayaan publik terhadap brand itu sendiri.
(ANL/DIR)