Gelombang demonstrasi merebak di puluhan kota di Iran sejak Sabtu (17/9) dan masih berlangsung hingga hari ini. Aksi demonstrasi ini merupakan bentuk protes terhadap kematian seorang perempuan berumur 22 tahun bernama Mahsa Amini yang diduga tewas akibat dianiaya polisi moral Iran. Mahsa Amini ditangkap oleh polisi moral di Teheran pada tanggal 13 September 2022 karena melanggar aturan pemakaian hijab. Ketika dalam tahanan, Mahsa Amini jatuh dalam kondisi koma dan meninggal 3 hari kemudian.
Kepolisian menyebut Mahsa Amini meninggal karena serangan jantung. Keluarga Mahsa Amini mengatakan bahwa pernyataan polisi ini merupakan kebohongan, sebab Mahsa Amini tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Selain itu, ayahnya, Amjad Amini, tidak diperbolehkan untuk melihat jenazah anaknya. Memar-memar di tubuh Mahsa Amini juga menandakan adanya dugaan penganiayaan.
Skeptisisme terhadap penyebab kematian Mahsa Amini pun memicu serangkaian protes dari aktivis dan elemen sipil. Masyarakat menuntut keadilan untuk Amini dan juga menuntut agar aturan penggunaan hijab dihapuskan. Banyak perempuan yang mengikuti aksi tersebut melepas hijab mereka sambil berseru "Death to dictator!" Tak hanya itu, beberapa juga membakar hijab mereka.
Pemerintah dan aparat Iran pun membalas aksi protes ini dengan represi. Menurut aktivis di lapangan, aparat Iran melakukan tindak kekerasan bahkan menikam peserta aksi. Secara resmi, 17 orang telah tewas dalam aksi ini. Namun melansir ABC News, organisasi HAM menyebut bahwa sudah ada 31 warga sipil yang tewas dalam aksi tersebut.
Kematian Mahsa Amini turut menjadi sorotan dunia internasional, salah satunya Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi pada polisi moral Iran karena telah melanggar hak perempuan Iran serta hak warga Iran untuk bisa menggelar aksi secara damai. Presiden Biden sendiri menyampaikan solidaritasnya untuk perempuan Iran.
(ANL/IND)