Manusia adalah tempat berkumpulnya khilaf dan salah. Hal ini tidak bisa ditolak. Sebab kesempurnaan hanya milik Tuhan, dan manusia cuma ciptaanNya yang sempurna karena ketidaksempurnaan manusia itu sendiri. Membingungkan? Oh, tentu saja. Perkara manusia memang membingungkan.
Tapi, jangan takut. Pada dasarnya, kebingungan tertinggi manusia baru terjadi waktu anak-cucu Adam turun ke urusan politik bernegara. Misalnya, yang saat ini tengah ramai dibahas: Keharusan calon pemimpin negara Indonesia untuk tidak pernah melakukan perbuatan tercela, seperti tercantum pada Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 169 Huruf J.
Secara nyata, pasal di atas mengandung kebingungan dan seperti menganulir kodrat manusia sebagai gudang kesilapan. Sebab jika dibedah, definisi "tercela" dalam pasal itu sendiri cenderung "melar". Merujuk penjelasannya, yang dimaksud dengan perbuatan tercela adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan norma adat, seperti judi, mabuk, pecandu narkotika, dan zina.
Hal-hal barusan jelas berada di ranah akhlak dan moral yang tidak formal. Maksudnya, bagaimana bisa dibuktikan, bahwa seorang calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) tidak pernah terlibat dalam perjudian, kegiatan mabuk-mabukan, narkoba, hingga zina seumur hidupnya?
Ya, memang baik, jika punya pemimpin yang punya laku santun tanpa cela. Tapi, apakah ada orang (politik) yang bebas dari perbuatan tercela? Terlebih ketika kita menengok kondisi perpolitikan di Indonesia yang...ya, begitu lah.
Kembali pada poin bahwa manusia adalah makhluk yang tidak luput dari kesalahan, maka rasanya sulit menemukan kandidat dengan "spek dewa" macam barusan. Lagipula, sebenarnya kenapa aturan ini diperlukan? Toh sebenarnya, urusan memimpin negara bisa kita pisahkan dari unsur yang lebih lekat dengan terma suci, kan? Sebab yang penting dan paling penting, adalah berlaku adil saat menjadi pemimpin tanpa bersikap lalim.
Buktinya, dari beberapa para pemimpin terdahulu di negara ini, sekalipun telah lolos dari prasyarat perbuatan tercela yang dimaksud di atas, kita masih saja menemukan kebijakan yang merugikan rakyat. Bahkan ada presiden juga calon presiden yang malah terlibat kasus pelanggaran HAM berat sampai megakorupsi, tanpa pernah diadili secara konkrit.
Perihal prasyarat capres dan cawapres tanpa perbuatan tercela ini malah jadi mengingatkan saya dengan istilah "Manusia Setengah Dewa" Iwan Fals yang harapannya bisa disematkan kepada pemimpin teranyar negeri ini, walau belum pernah benar-benar kesampaian.
Sepintas saya juga berpikir, kalau aturan layaknya "spek dewa" tersebut merupakan respons pemerintah terhadap lagu Om Iwan yang mengharapkan pemimpin adil, tegas, dan tak pandang bulu. Hanya saja menurut saya, sepertinya pemerintah salah menginterpretasikan maksud Om Iwan.
Karena secara gamblang, Om Iwan berpesan kepada pemimpin untuk mengurus moral atau akhlak masing-masing, karena yang sesungguhnya dikehendaki masyarakat adalah peraturan yang sehat. Bukan prasyarat suci seperti yang ditulis Undang-undang pemilu, apalagi Undang-undang lain yang malah berpotensi mempermainkan rakyat.
(RIA/DIR)