Tok tok tok! Per 3 September kemarin, harga BBM fix naik. Satu liter Pertalite menyentuh Rp10.000, solar menjadi Rp6.800 per liter, sementara harga Pertamax mencapai Rp14.500/liter. Tentu saja, kenaikan ini menciptakan polemik yang hebat. Pasalnya, setiap BBM melonjak, harga bahan pokok lainnya juga ikut meningkat. Tetapi, pada lain sisi, mahalnya BBM justru membuat masyarakat mulai melirik kendaraan bertenaga listrik, yang bisa dibilang, tidak terkena imbas utama kenaikan BBM.
Kendaraan bertenaga listrik memang diproyeksikan sebagai kendaraan masa depan. Selain minim emisi karbon, kendaraan ini disebut lebih ekonomis dan ramah kantong. Terutama, jika dibandingkan dengan tarif menggunakan kendaraan ber-BBM, yang saat ini harganya tengah melambung tinggi.
Sebagai perbandingan, 1 kilowatt hour (kWh) mobil berdaya listrik dapat menempuh jarak 7 kilometer, dengan tarif sekitar Rp2.466,78/kWh di stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Artinya, jika sebuah mobil listrik memiliki daya penuh 45 kWh, maka mobil tersebut bisa melaju hingga 315 km, hanya dengan ongkos sekitar Rp111.005 untuk jarak yang setara Jakarta-Bandung-Jakarta tersebut.
Sedangkan, 1 liter bensin pada mobil low cost green car (LCGC) bisa melaju sejauh 12 km. Namun, dengan naiknya harga Pertalite menjadi Rp10.000/liter, sebuah mobil berkapasitas tangki 45 liter akan membutuhkan biaya sebesar Rp450.000 untuk menempuh jarak 540 km. Bebannya akan lebih membengkak jika menggunakan Pertamax, yakni sebesar Rp652.500, dengan perhitungan 45 liter x Rp14.500. Padahal, untuk jarak yang sama, mobil berdaya listrik hanya butuh separuh dari biaya yang dihabiskan mobil berbahan bakar minyak tersebut.
Di samping itu, harga kendaraan berbahan bakar listrik juga terus mengalami penyesuaian yang terjangkau. Produsen Mobil asal Tiongkok, Wuling, misalnya. Mereka berani membanderol mobil listrik teranyar pada kisaran Rp200 juta-an. Belum henti di situ, motor bertenaga listrik juga semakin banyak dipasarkan di Indonesia, dengan harga yang sangat bersaing dengan motor-motor konvensional.
Sampai di sini, jika kita melihat dari segi pengeluaran ongkos bahan bakar, maka ide beralih ke kendaraan listrik tampak sebagai solusi alternatif yang patut dipertimbangkan. Apalagi, pemerintah juga sudah menyiapkan stasiun-stasiun pengisian kendaraan listrik. Merujuk pernyataan Kementerian ESDM, per bulan Juli lalu, ada 332 Unit SPKLU/Charging Station di 279 lokasi publik dan juga terdapat 369 Unit SPBKLU/Battery Swap Station tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Walaupun seperti itu, pertanyaannya: apakah di situasi saat ini, beralih menuju kendaraan listrik merupakan solusi kenaikan BBM yang utama?
Jika ditimbang-timbang, maka jawabannya adalah tidak. Sebab, peralihan kendaraan listrik lebih bersifat individual, sementara roda transportasi nasional masih sangat bergantung pada kendaraan-kendaraan berbahan bakar minyak. Mulai dari moda transportasi umum, sektor industri, dan masih banyak lainnya, belum siap meninggalkan BBM dan beralih menjadi listrik sepenuhnya. Lagipula, kendaraan berbasis listrik juga masih menyerap energi dari PLTU yang notabene-nya berbahan bakar fosil. Kemudian, ada bayangan limbah baterai di masa datang, yang belum bisa ditanggulangi secara prima.
Lantas, apakah kita bisa melihat situasi ini sebagai momen yang tepat untuk peralihan? Atau pada dasarnya, kenaikan ini tetap memberatkan masyarakat secara menyeluruh, termasuk para pengguna kendaraan listrik, yang harus mengikuti harga bahan pokok-yang ikut melonjak seiring kenaikan BBM?