Konflik belum reda di Ukraina; Rusia masih membombardir Kiev dan sekitarnya tanpa bosan. Sementara di Timur Asia, raksasa China mulai mengudarakan misil ke tetangga satu Ibu, Taiwan. Ada pula Oppa Kim Jong Un yang tidak mau kalah. Katanya, Korea Utara siap hadapi 'Paman Sam' dengan nuklir terbaru, karena keliwat campur tangan di "perang alot" mereka dengan Korea Selatan. Rentetan konflik militer di atas, lantas melintaskan pertanyaan banal di benak saya: apakah perang besar dunia, sungguh akan terjadi (lagi)?
Senjata nuklir yang mutakhir, sudah jadi momok menakutkan sejak "little boy" dan "fat man" menghantam Hiroshima dan Nagasaki. Anehnya, sampai hari ini, negara-negara kuat dunia masih saja saling ancam dan "pamer" soal nuklir masing-masing. Padahal, kita semua sama tahu, kalau senjata pemusnah massal tersebut tidak pernah menjadi solusi yang cermat. "Menang jadi arang, kalah jadi abu." Itulah konsekuensi mengerikan yang perlu ditanggung dunia apabila perang nuklir terlaksana.
Ilustrasi nuklir/ Foto: Veectenzy |
Oleh karenanya, anggapan optimis kalau perang besar tidak akan terjadi, terkesan lebih logis untuk dipercaya. Ditambah fakta bahwa, negara-negara pemain nuklir tersebut juga sudah tentu paham konsekuensi dari perang nuklir yang sepenuhnya merugikan. Karena itu pula, pertunjukan agresif militer yang marak terjadi belakangan ini sebenarnya bisa lebih dilihat sebagai bentuk "gagah-gagahan" semata. Atau kasarnya, serupa aksi konyol adu besar penis, yang dirawat dan dilestarikan oleh pria-pria penganut toxic masculinity, meskipun mereka sama-sama tahu kalau besar-kecilnya penis tidak pernah relevan dengan kualitas seseorang.
Sialnya, praktik "gagah-gagahan" semacam itu berdampak secara global. Maksudnya, akibat wacana perang besar yang melibatkan nuklir dipertontonkan, negara-negara kelas tiga seperti Indonesia, mau tidak mau ikut terjerumus ke dalam intrik kotor. Padahal, pada dasarnya konflik yang nyata tidak pernah benar-benar menjadi ancaman. Akhirnya, akibat praktik adu gagah konyol yang terlanjur dibiarkan mengakar, fenomena penuh ironi justru sepenuhnya memutarbalikkan keadaan; di mana power suatu negara justru dihitung dari kekuatan militer, dan bukan aspek-aspek lain yang lebih esensial. Layaknya suatu keniscayaan, pola adu canggih senjata yang dilakukan secara berulang, semakin hari semakin memantapkan relasi kuasa negara top tier, kepada negara kelas tiga yang dianggap inferior karena tertinggal di bidang persenjataan.
Ilustrasi perang nuklir/ Foto: Veectenzy |
Pada satu titik tertentu, kesepahaman dunia soal pengaruh kekuatan militer di atas juga menciptakan sebuah realitas khayalan; yang terbangun oleh intensnya ancaman perang, serta mengukuhkan pesan "sing kuat, sing menang" dari negara adikuasa kepada negara dunia ketiga yang sebetulnya lebih unggul dari segi soft power, kendati masih sering gagap dan minder saat menyebarluaskannya. Dalam hal ini, soft power yang dimaksud adalah aspek-aspek di luar militer; seperti ideologi, sistem ekonomi, hingga aspek sosial-budaya dari negara dunia ketiga, yang sialnya malah lebih dulu dirusak oleh realitas rekaan negara adikuasa, yang mencecar lewat gagahnya militerisme.
Padahal kalau dipikir-pikir, negara seperti Indonesia-yang rasanya-tidak terlalu kuat secara militer tapi punya keunggulan di bidang soft power, harusnya juga bisa menaikkan wacana tandingan. Misalnya terus mengedepankan nilai kedamaian dunia yang abadi, mengajak dunia untuk lebih fokus soal pelestarian budaya, atau menitikberatkan pada pelestarian alam, yang kini sebenarnya lebih memprihatinkan daripada saling sikut memakmurkan negara sendiri akibat ego terlampau tinggi.
Ilustrasi perdamaian/ Foto: Veectenzy |
Ya, walaupun begitu, hal ini sebenarnya lebih bersifat harapan. Karena Indonesia sendiri sudah terlanjur larut dalam realitas yang direka negara super power, sebagaimana kekuatan soft power kita yang telah mati suri, sebab sudah habis dibredel siapa saja, akibat ikut-ikutan percaya paham "sing kuat, sing menang" yang nyatanya tidak pernah menguntungkan secara kolektif.
Bahkan sebaliknya, paham gagah-gagahan bawaan barat itu justru makmur di antara lingkungan kita sendiri. Di mana satu rakyat dan lainnya saling tindas-menindas, demi kelanggengan kuasa masing-masing. Dan ironisnya, dengan cara main "gagah-gagahan" pula. Sebagaimana drama main tembak aparat yang tidak kunjung kelar diberitakan.
(RIA/DIR)