Fafifu dan wasweswos soal LPDP kembali ramai dibicarakan. Trigger utamanya, tentu dari Twitter; sumber pencerahan sekaligus kegelapan masa kini. Kronologinya bermula dari ghibah sepasang teman di percakapan WhatsApp, yang membahas perihal awardee LPDP yang cerdik: cerdas dan licik!
Sebuah testimoni tentang para pengkhianat bangsa, penghisap uang pajak rakyat. pic.twitter.com/RbInFN32BF
— Fortis Est Veritas (@VeritasArdentur) July 28, 2022
Dari sana, pembahasan alot jauh bergulir. Konon mencapai 5 juta impresi dalam dua hari ke belakang. Satu hal yang perlu dicatat adalah tanggapan LPDP secara resmi, dengan mempertegas sanksi bagi awardee yang bertingkah konyol. Sementara sisanya, lebih berkutat tentang efektifitas serta pro dan kontra LPDP yang melar diperdebatkan.
Jika berpegangan pada fafifu dan wasweswos LPDP yang ada di Twitter, maka terdapat dua narasi yang saling berseberangan. Pertama, awardee LPDP nakal perlu didisiplinkan karena merugikan negara dan rakyat. Apalagi jika disadari, sumbangsih calon master atau doktor yang disponsori pajak tersebut seharusnya menjadi kunci masa depan yang lebih, setidaknya pada sektor pendidikan atau kekaryaan.
Sementara yang kedua, lebih mengedepankan pembelaan terhadap awardee LPDP liar karena banyak hal. Seperti ekosistem kehidupan dalam negeri yang belum menunjang alumnus LPDP; sorotan LPDP lebih bernada nyinyir dan sentimen; hingga beragam alasan soal kesempatan lebih baik yang bisa didapat seorang awardee di luar negeri.
Bagi saya pribadi, LPDP memang sesuatu yang menggiurkan. Betapa tidak? Iming-iming paling sedikit Rp 2M dan fasilitas lainnya merupakan nilai yang fantastis. Belum lagi kesempatan hidup yang pastinya menjadi lebih baik, berbekal pengalaman yang belum tentu bisa dirasakan banyak.
Namun begitu, rasanya kekisruhan LPDP kemarin sedikit meninggalkan kesan mendalam yang mengubah pandangan terhadap beasiswa dari kantong rakyat tersebut. Sampai di sini, LPDP harus dipandang bukan sebagai privilese, yang boleh diakali civitas akademika pilihan menjadi penolong nasib diri atau keluarga sendiri.
Hal ini tentu harus diubah. Sebab penerima LPDP memang tidak dikodratkan sebagai benalu di negeri orang, apalagi hanya untuk menghindari kecakapan hidup yang sulit terjangkau di negeri sendiri. Malahan, awardee atau alumnus LPDP selayaknya bersumbangsih pada rakya yang merupakan pemodal utama; entah sebagai agen perubahan di masyarakat, atau paling tidak, penebar semangat positif generasi mendatang.
Di atas hanyalah sepintas opini saya perihal LPDP yang problematis. Sebagai orang yang tidak berpendidikan baik, rasanya saya pun urung berkomentar lebih jauh. Hanya saja saya jadi teringat penggalan lirik dari musisi urban berjudul Veteran. Kira-kira begini bunyinya:
"...Astaghfirullah! Kok susah banget cari kerja?!
Tenang aja kalo ga kerja bisa cari beasiswa
OK, mari semuanya langsung daftar LPDP
Jalan-jalan ke luar negeri tapi cuma bayar DP
Gelar master anda itu sudah basi
Buang buang tenaga seperti masturbasi
24 belum nikah muka langsung pucat pasi
Siapa suruh punya CV tapi bukan punya visi?..."
(Noise - VETERAN ft. Laze)