Sudah menjadi hak anak-anak untuk terlindungi dari kekerasan. Tapi apa yang terjadi, bila anak-anak menjadi pelaku dari kekerasan? Kasus kriminalitas anak masih menjadi perdebatan dalam sistem hukum masyarakat. Di satu sisi, angka kriminalitas anak sangat tinggi; mulai dari banyaknya remaja yang menjadi pelaku klitih, hingga maraknya kasus bullying yang terjadi di kalangan pelajar.
Terbaru, publik digemparkan oleh kasus meninggalnya seorang anak berusia 11 tahun di Tasikmalaya yang diduga dipaksa melakukan kekerasan seksual terhadap seekor kucing. Ia diduga mengalami depresi setelah dipaksa oleh teman-temannya melakukan aksi tersebut dan videonya disebarkan di media sosial. Lebih mengejutkan lagi, Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul yang mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyepelekan kasus tersebut sebagai candaan anak-anak belaka. Padahal, orang tua korban berhak mendapatkan keadilan atas kehilangan yang mereka rasakan.
Ilustrasi bullying/ Foto: Pexels |
Peristiwa di atas menunjukkan betapa peliknya kasus kriminalitas yang melibatkan anak-anak. Meski kita memiliki Sistem Peradilan Anak, hukum bagi pelaku kriminal anak tetap menjadi persoalan yang rumit. Pasalnya, kekerasan yang dilakukan anak-anak adalah permasalahan sosial berlapis yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan discipline and punishment. Ada berbagai faktor yang berperan, mulai dari pola asuh orang tua, kondisi ekonomi dan sosial lingkungan sekitar, hingga budaya.
Persoalan hukum perilaku kriminal anak tergambarkan dengan sangat apik melalui serial Netflix berjudul Juvenile Justice. Courtroom drama ini diceritakan dari perspektif seorang hakim bernama Shim Eun-Sok yang membenci para pelaku kriminal anak. Hakim Shim adalah hakim yang tegas dan tidak segan dalam memberikan hukuman maksimal bagi anak-anak yang menjadi pelaku kriminal. Di sisi lain, ada juga hakim Cha Tae Joo yang merasa bahwa para pelaku kriminal anak layak mendapatkan kesempatan kedua agar bisa tumbuh menjadi orang dewasa yang hidup damai di masyarakat.
Posisi Hakim Shim seringkali berseberangan dengan Hakim Cha. Melalui dinamika kedua karakter tersebut, penonton bisa memahami bahwa kasus kriminalitas anak bukanlah persoalan hitam-putih yang sederhana. Setiap episode Juvenile Justice berisi kasus kriminal yang berbeda-beda; mulai dari pembunuhan, perkosaan, hingga tabrak lari. Serial ini menawarkan berbagai perspektif penting mengenai penanganan kasus pelaku kriminal anak. Berikut adalah beberapa hal yang bisa kita pelajari dari serial drama ini!
Ilustrasi bully/ Foto: Pexels |
Kejahatan Anak-Anak Tidak Boleh Disepelekan
Dalam berbagai kasus kriminalitas yang melibatkan anak-anak, seringkali kita terkecoh dengan status mereka sebagai anak dan berpikir "namanya juga anak-anak" atau "mereka hanya iseng". Padahal, pandangan seperti ini sangat berbahaya. Meski pelakunya adalah anak-anak, tapi dampak dari perbuatannya bisa sebesar kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Juvenile Justice menunjukkannya dengan menyoroti perspektif korban dalam setiap kasus yang diangkat. Anak-anak memang harus dilindungi, tapi hukum juga harus bisa memberikan keadilan bagi para korban. Oleh karenanya, kejahatan anak-anak tidak boleh disepelekan dan harus diusut hingga ke akar mengapa anak-anak tersebut bisa melakukan perbuatan keji.
Hukum yang Tumpul Tidak Akan Menghapus Kejahatan
Hukum yang berlaku harus bisa memberi pelajaran bagi anak-anak tersebut bahwa perbuatan mereka memiliki konsekuensi. Dalam serial tersebut, beberapa pelaku kriminal anak yang melakukan kejahatan berat akhirnya lolos dari hukuman dan akhirnya kembali melakukan kejahatan ketika mereka sudah dewasa. Tak dapat dimungkiri, memberikan kesempatan kedua bagi pelaku kriminal anak adalah hal yang penting. Meski begitu, mereka juga harus mendapat hukuman yang tegas agar menyadari seberapa besar dampak dari perbuatan mereka. Apabila tidak ditindak tegas, pelaku kriminal anak akan meremehkan hukum yang berlaku dan bisa melakukan kejahatan berkali-kali.
Sebagian Pelaku Kriminal Anak adalah Korban Kekerasan
Beberapa pelaku kriminal anak dalam Juvenile Justice adalah korban dari kekerasan yang dilakukan orang tua mereka sendiri. Dalam sebuah dialog bersama Hakim Shim, Hakim Cha mengatakan bahwa seorang anak yang menjadi korban kekerasan domestik tidak akan pernah tumbuh dewasa. Sebab, trauma tersebut akan dibawa seumur hidup mereka. Beberapa anak yang beruntung mungkin bisa diselamatkan oleh sistem hukum yang ada. Namun bagi banyak anak lainnya yang tidak pernah mendapatkan keadilan dari kekerasan yang mereka alami, mereka justru bisa tumbuh menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.
Karakter Hakim Eun Seok di Juvenile Justice/ Foto: Netflix |
It Takes a Village to Raise a Child
Juvenile Justice menunjukkan berkali-kali bahwa pola asuh orang tua berperan penting dalam membentuk diri anak yang sedang tumbuh dewasa. Perceraian, penelantaran, hingga kekerasan, bisa mendorong anak untuk terjerumus ke lingkungan yang salah dan akhirnya melakukan kejahatan. Tapi pesan yang tak kalah penting juga disampaikan oleh Hakim Shim ketika ia mengatakan "They say it takes a village to raise a child. In other words, a child's life could be ruined if the entire village neglects the child." Artinya, teman sebaya, masyarakat, dan negara juga ikut berperan dalam menentukan perilaku anak.
Serial Juvenile Justice lebih dari sekedar drama korea yang menyediakan plot seru. Serial ini bisa membantu kita untuk merefleksikan kembali mengenai kriminalitas anak dari berbagai sisi. Kita harus mampu mengakui bahwa kriminalitas anak bisa terjadi karena berbagai permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Apabila setiap kali anak melakukan kejahatan dianggap sebagai candaan belaka, maka kriminalitas anak akan terus terjadi.
(ANL/DIR)