Kalau ada yang bilang, "Di Jakarta semua bisa jadi uang," maka peran masyarakat suburban lah yang memastikan klaim tersebut menjadi suatu fakta. Hal ini bisa diketahui dengan mudah, lewat kontribusi masyarakat pinggiran Ibukota yang kebanyakan bekerja di Jakarta, sampai fenomena "SCBD" (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok) atau "Citayam Fashion Week" yang belakangan ramai diperbincangkan.
Sulit dimungkiri, kelas pekerja di kota metropolitan memang kebanyakan berdomisili di kawasan suburban, seperti halnya kawasan Citayam, Bojong Gede, Depok, bahkan Bekasi dan Tangerang. Meski demikian, label warga kelas 2 justru terus disematkan kepada mereka--yang sejatinya memainkan peranan penting pada roda perekonomian Ibukota.
Apalagi dengan adanya kontestasi wacana "SCBD" atau "Citayam Fashion Week" yang baru-baru ini mengisi topik hangat media, penggolongan warga pinggiran yang dimaknai secara "miring" atau merendahkan pun semakin menjurus kepada mereka. Dalam waktu singkat, kebiasaan mejeng ABG pinggiran di kawasan elit kota mendapat cibiran dari netizen.
Namun, alih-alih membahas kebiasaan mejeng ABG Citayam dan sekitarnya secara habis-habisan atau repot-repot memberi label jamet atau menuduh mereka mencemari kawasan elit kota, masyarakat metropolitan yang bertipikal pongah justru seharusnya berterima kasih kepada Darling, Bonge, Roy, Jeje dkk. Sebab semenjak fenomena "SCBD" atau "Citayam Fashion Week" meledak, omzet para pedagang kopi keliling berbasis sepeda (starling) yang berseliweran di kawasan Dukuh Atas dan sekitarnya malah mengalami kenaikan yang signifikan.
Dari secuil intipan ini saja, terlihat bagaimana warga sekitaran Jakarta berperan baik bagi perekonomian kota. Belum lagi ditambah para pengemudi ojol, yang laris dipilih warga suburban menuju ke tempat bergaul atau bekerja sehabis menumpang jasa KRL dari wilayah rumah masing-masing.
Jakarta Kota Kolaborasi
Merespon fenomena "SCBD" dan "Citayam Fashion Week" yang bergulir hingga penuh nyinyir, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun meresponnya dengan bijak. Menurutnya, bias kelas yang terjadi kepada remaja suburban tercipta karena masyarakat tidak mengerti dinamika warga pinggiran dn juga tak paham aturan main ruang publik.
"Saya kira cibiran itu bisa saja masuk kategori bias kelas karena mereka yang mencibir tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang dinamika masyarakat suburban," kata Ubedilah seperti dilansir CNNIndonesia. Pria yang disapa Ubed ini juga menerangkan bahwa masyarakat pinggiran biasanya punya karakter antusiasme tinggi terhadap hal baru di pusat kota.
Hal inilah yang pada akhirnya mendorong anak muda Citayam, Bekasi atau Bojong Gede rajin mendatangi kawasan Sudirman di akhir pekan atau seperti pada masa libur sekolah kemarin. Faktor lain yang menggairahkan remaja suburban ke pusat kota Jakarta juga disinyalir karena keterbatasan fasilitas publik di daerah sekitar tempat mereka tinggal. Lagipula menurut Ubed, remaja Citayam tetap sah dan berhak mengakses kawasan Sudirman sepanjang tidak melakukan tindakan yang merusak dan melanggar norma bersama.
Fenomena yang cukup menyita perhatian ini turut mengundang Gubernur DKI Anies Baswedan untuk berkomentar. Menurut Anies, kawasan sekitaran Sudirman mesti dijadikan sebagai ruang ketiga milik bersama, bukan hanya milik para pekerja gedung-gedung pencakar langit atau warga Jakarta semata. Menurutnya, kawasan itu bisa dinikmati masyarakat dengan berbagai cara tanpa membedakan status ekonomi.
"Mereka yang datang memiliki pengalaman baru dan boleh datang dari mana saja tempat ini nggak harus mereka yang secara sosial ekonomi tengah-atas justru demokratisasi yang terjadi di tempat ini, siapa saja bisa menikmati," kata Anies seperti dilansir Detikcom.
Sementara menurut Roy, salah seorang remaja yang doyan "mangkal" di pusat kota atau kawasan sekitar Sudirman (stasiun BNI City-Dukuh Atas) tak bisa dimonopoli sebagai tempat tongkrongan orang-orang berduit dan elit saja. Seharusnya, siapapun boleh memanfaatkan ruang tersebut dengan catatan tetap menjaga sopan santun. "Ya semua tongkrongan kan sama saja, intinya kita jaga sopan santun, walaupun dia tongkrongan mahal kalau dia kagak ngusik mah ya udah... Bawa happy saja," ujar Roy melansir CNN Indonesia.
Sesuai dengan jargon terbaru Ibukota Jakarta, 'Kota Kolaborasi', kawasan metropolitan memang sepatutnya menjadi dan menyediakan ruang publik terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara meluas dan tanpa pandang bulu. Tidak terkecuali remaja suburban yang dipandang sebagai warga kelas dua. Apalagi faktanya, kegiatan komunitas remaja suburban di pusat kota yang dianggap "elit" tersebut tidak melanggar aturan dan malah meningkatkan keadaan ekonomi, baik bagi para pedagang hingga para konten kreator.
Bagi saya sendiri, jika memang sorotan "SCBD" atau "Citayam Fashion Week" malah melunturkan semangat "Kolaborasi" yang dicanangkan Jakarta, mungkin warga kota sebaiknya dicekoki kembali oleh materi promo Ibukota Jakarta beberapa waktu silam yang bilang, "Enjoy Jakarta!"