Kesan misterius hingga kisah penuh rahasia; mungkin wajar-wajar saja di dalam hubungan asmara atau malah jadi menarik ketika termuat dalam sebuah buku atau film. Namun, bagaimana jadinya jika hubungan yang seharusnya penuh transparansi--pemerintah dengan rakyat--malah main rahasia-rahasiaan?
Tentu drama main "petak umpet" tidak boleh terjadi dalam konteks bernegara. Sebab hakikatnya, pemerintah sebagai pelayan wajib membuat dan membuka setiap progres kebijakan yang ditujukan demi kesejahteraan sang tuan (baca: rakyat).
Khususnya seperti yang terjadi pada pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Semenjak Presiden Joko Widodo menginstruksikan menunda pengesahan dan menarik draf RKUHP dari DPR untuk dilakukan pendalaman materi pada September 2019 silam, naskah terbarunya justru baru dibuka ke publik di awal bulan Juli ini, sementara pembahasannya berlangsung secara "diam-diam" dan ditargetkan untuk disahkan pada bulan Juli pula.
Jelas saja, proses "main belakang" ini mendapat desakan bertubi-tubi dari masyarakat. Sebab pada draf RUU KUHP misterius yang telah berpindah tangan ke DPR pada Kamis, 6 Juli kemarin untuk dibahas lebih lanjut mengandung sejumlah problematika yang dapat memberi dampak buruk bagi masyarakat. Kasarnya, RUU KUHP yang tengah dibahas dalam senyap tersebut justru mampu mengintervensi hak dan kewajiban warga negara dalam berkehidupan.
"Ladang Karet" di dalam Kitab Rahasia RUU KUHP
Dari draf yang dibuka September 2019 lalu hingga draf final per 4 Juli 2022--yang akhirnya dirilis ke publik--masyarakat secara luas merasa perlu memberikan catatan kritis di mana banyak poin dalam RUU KUHP yang perlu ditinjau kembali dan dibahas bersama secara substansial.
Hal ini dikarenakan terdapat sejumlah kerancuan pada delik, rujukan, sinkronisasi batang-tubuh, dan penjelasan di setiap pasal kontroversial, hingga kesalahan teknis redaksional mendasar pada RUU KUHP. Sedangkan merujuk pembahasan lanjutan 25 Mei lalu, pemerintah dan DPR hanya menginformasikan matriks berisi 14 isu krusial RUU KUHP.
Padahal, menurut catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari 82 organisasi, seperti YLBHI, LBH Jakarta, KontraS, hingga BEM UI, setidaknya ada 24 permasalahan di dalam draf RUU KUHP. Mulai dari kerentanan overkriminalisasi pada hukum masyarakat adat, tidak proporsionalnya ketentuan pidana mati, melarnya pengaturan "makar", kerancuan tindak pidana agama, pereduksian penggolongan tindak pidana pelanggaran HAM berat (seperti genosida), kriminalisasi alat pencegah kehamilan, pemidanaan hubungan privat warga negara, dan lain sebagainya.
Dari draf RUU KUHP yang paling baru, nyatanya kerancuan dan potensi merugikan masyarakat masih ditemui. Hal ini terlihat dari aturan pemidanaan terhadap pihak yang menghina DPR, MPR, Kejaksaan, POLRI, sampai Pemerintah Daerah (Pemda), dalam Pasal 351 ayat 1 RKUHP yang menyebutkan bahwa pihak yang menghina kekuasaan akan dipidana maksimal 1,6 tahun. Hal ini tentu sangat ironis. Sebab pada negara demokrasi seperti Indonesia, kekuasaan tertinggi seharusnya berada di tangan rakyat dan bukan di institusi/lembaga negara.
Kemudian ada pula pasal penghinaan presiden yang menjelaskan bahwa siapapun yang menghina presiden dan wakil presiden akan dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan. Aturan ini juga mengharuskan masyarakat menyampaikan kritik secara objektif dan memuat sebuah solusi. Pasal ini jelas bermasalah dan mengancam warga negara, sebab banyak kerancuan dan ketidakmasukakalan pada penjelasannya.
Kutipan-kutipan pasal RKUHP di atas hanyalah sedikit dari banyak poin bermasalah lainnya dari RUU KUHP yang tengah dibahas. Oleh sebab itu, proses penyusunan RKUHP yang selama ini diam-diam, harus dilakukan secara transparan dan inklusif sebelum pengesahan Rancangan KUHP menjadi undang-undang. Sikap tegas ini memang perlu dibuat, mengingat masyarakat tidak ingin kecolongan lagi, sebagaimana kasus UU Ciptaker yang problematis.
Mengapa Tidak Dibuka Sedari Awal?
Drama misterius RUU KUHP yang telah melewati pembahasan tingkat pertama ini tentu menyisakan banyak pertanyaan besar: Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa pemerintah mengulur pembukaan draf terbaru RKUHP kepada publik?
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sempat mengungkap alasannya pada bulan Mei lalu. Dia mengatakan ada proses yang harus dihormati bersama, dan nantinya draf RKUHP terbaru akan dibuka ke publik usai diserahkan ke DPR. Hal ini dikarenakan pemerintah masih membacanya secara detail agar tidak lagi ada kesalahan, sebab pemerintah tak ingin menyalahi aturan dalam pembuatan undang-undang.
Sementara pada perkembangan terkini, draf tersebut akhirnya resmi dibuka dan diserahkan Eddy ke DPR. Namun, sekali lagi, bukan berarti dengan dibuka dan diserahkannya draf RKUHP, masalah yang terkandung pada prosesnya bisa diabaikan begitu saja. Menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, terdapat salah kaprah pendekatan dalam pembahasan RUU KUHP. Meski secara teknis pembahasan sudah disetujui di tahap pertama, bukan berarti substansinya tanpa masalah.
"Esensinya tetap ke pembahasan UU yang harus deliberatif (melalui pertimbangan). Apalagi Kemenkumham sendiri bilang memang ada perubahan dari (draf) yang terakhir, walaupun drafnya sampai sekarang belum pernah dibuka," ujar Bivitri seperti dilansir dari Vice.
Kendati drama main rahasia-rahasiaan telah berakhir-karena draf telah dibuka dan diserahkan ke DPR, polemik pembahasan draf RKUHP ini malah memunculkan permasalahan baru yang juga sama berbahaya bagi demokrasi di Indonesia.
Merujuk siaran pers Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) pada laman Twitter Aliansi Jurnalis Independen Indonesia @AJIIndonesia, draf RKUHP yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR melalui rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Kamis (6/7) kemarin, justru disepakati para anggota DPR yang terhormat untuk dibahas secara tertutup.
Aspirasi demonstran saat demo RKUHP beberapa waktu lalu/ Foto: rifkiantonugroho/Detikcom |
Secara gamblang, pembahasan ini telah menjadi preseden buruk; terhitung sejak awal perumusan RKUHP, di mana pemerintah membatasi partisipasi publik yang bermakna sebab RKUHP tersebut nantinya akan berdampak penuh pada masyarakat luas, yang mana sangat mengancam kebebasan berpendapat warga negara.
Dengan demikian, KKJ turut mendesak pemerintah dan DPR untuk:
- Membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam memberi masukan dan kritik atas draf resmi RKUHP terbaru;
- Memastikan agar draf RKUHP menjamin kebebasan pers, kebebasan sipil, kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat yang dijamin UUD Negara RI Tahun 1945 dalam konteks yang lebih luas; dan
- Memastikan agar DPR RI tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP sebelum dua hal di atas terpenuhi.