Pada ajang COP26 kemarin, negara-negara global akhirnya bersepakat menetapkan target net zero emissions pada tahun 2050. Sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, Indonesia pun ikut berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen hingga tahun 2030. Namun, untuk mencapai target ini dibutuhkan dana yang sangat besar. Melansir Kementerian Keuangan, biaya mitigasi perubahan iklim hingga tahun 2030 diperkirakan mencapai Rp3.779 triliun. Kebutuhan biaya terbesar datang dari sektor energi dan transportasi, melihat sebagian besar emisi dihasilkan dari sektor ini.
Berdasarkan kondisi di atas, pemerintah Indonesia pun membuat kebijakan yang bisa membantu Indonesia bertransisi ke Ekonomi Hijau sekaligus membantu Indonesia untuk memenuhi kebutuhan biaya mitigasi. Salah satu bagian dari kebijakan tersebut adalah diterapkannya Carbon Pricing atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Nantinya, semua kegiatan yang melibatkan aktivitas mengemisi karbon bisa dikenakan biaya.
Implementasi kebijakan tersebut dimulai dari diberlakukannya carbon tax atau pajak karbon bagi PLTU batubara pada tahun 2022. Sebelumnya, pemerintah merencanakan pajak karbon untuk diberlakukan pada 1 April 2022, namun ditunda menjadi 1 Juli 2022 karena sejumlah aturan teknis masih perlu disusun. Akan tetapi beberapa hari sebelum kebijakan tersebut diberlakukan, pemerintah berencana untuk kembali menunda diberlakukannya pajak karbon.
Pajak karbon sendiri merupakan salah satu instrumen dalam strategi pemerintah untuk mengimplementasikan carbon pricing. Dengan menerapkan carbon tax, pada dasarnya semua entitas yang mengemisi gas rumah kaca melebihi batas yang telah ditentukan (cap) akan dikenakan pungutan pajak. Saat ini, tarifnya adalah Rp30.000/tCO2e. Harga ini relatif lebih murah dibandingkan negara lain yang sudah menerapkan carbon tax, misalnya Finlandia yang mematok US$68 per ton emisi karbon atau Singapura yang mematok US$4 per ton emisi karbon.
Untuk saat ini, carbon tax akan diberlakukan secara bertahap dimulai dari PLTU yang merupakan salah satu penghasil emisi terbesar dalam sektor energi. Harapannya, dengan adanya pajak karbon maka para pelaku usaha mau tak mau harus menurunkan aktivitas yang mengeluarkan emisi dan beralih ke praktik yang lebih hijau.
Ada 3 tujuan dari diterapkannya carbon tax. Pertama, untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi agar bisa beralih ke ekonomi hijau rendah karbon. Kedua, untuk mendukung penurunan emisi gas rumah kaca. Ketiga, untuk mendorong inovasi dan investasi yang rendah karbon.
Pajak karbon akan diimplementasikan menggunakan dua pendekatan, yaitu cap-and-trade dan cap-and-tax. Dalam skema cap-and-trade, emitor yang menghasilkan emisi melebihi cap bisa membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari emitor yang emisinya belum mencapai cap. Sedangkan dalam skema cap-and-tax, emitor yang menghasilkan emisi melebihi cap namun tidak bisa melakukan trading, maka sisa emisinya akan dikenakan pajak.
Untuk payung hukumnya sendiri, pajak karbon diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan NEK. Hukum ini turut mengatur bagaimana pendapatan dari pajak karbon akan dimanfaatkan. Melalui mekanisme APBN, pendapatan negara dari pajak karbon bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, menambah dana pembangunan, dan menyediakan bantuan sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang akan terdampak dari implementasi carbon pricing.
Namun, semua skenario di atas baru akan tercapai apabila pajak karbon bisa diimplementasikan sesuai tujuan dan prinsip yang telah ditetapkan. Masalahnya, Indonesia sendiri sudah tidak asing lagi dengan korupsi di sektor perpajakan. Dengan adanya pasar dan perputaran uang yang baru ini, akan ada banyak kesempatan bagi pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk meraup keuntungan dari skema ini. Oleh karena itu, implementasi pajak karbon harus kita kawal baik-baik. Sebab, berhasil atau tidaknya kebijakan ini akan menentukan kesanggupan Indonesia dalam memitigasi perubahan iklim.