Mungkin, tanpa sadar kita semua sudah terlalu terbiasa dengan stereotip warna. Bayi yang mengenakan baju berwarna pink secara otomatis memberikan kita kesadaran bahwa bayi tersebut pasti perempuan, begitu pula dengan warna biru yang selalu dikaitkan dengan jenis kelamin laki-laki. Bahkan, sangat mudah bagi kita untuk menemukan section anak perempuan di toko pakaian karena sebagian besar warna yang digunakan adalah pink. Meskipun banyak warna lain yang ditawarkan, warna pink atau biru memiliki daya pikat sendiri untuk gender masing-masing. Namun, bagaimana sejarah dibalik kedua warna stereotip ini?
Stereotip warna ini bermula di awal abad ke-19, di mana warna-warna pastel sangat populer untuk anak-anak. Kedua warna ini-pink dan biru-dipilih karena dapat mendukung warna rambut dan mata. Warna biru diklaim sangat cocok untuk anak yang memiliki warna mata biru dan rambut pirang, sedangkan pink cocok untuk mata dan rambut berwarna coklat. Pada saat itu, warna biru merupakan warna perempuan karena memberikan kesan yang manis, dan pink yang dianggap sebagai warna lebih mencolok, diberikan kepada laki-laki.
Pink memang dianggap sebagai warna maskulin. Bahkan, dalam buku katalog warna, pink adalah warna untuk anak laki-laki, menurut Leatrice Eiseman, seorang ahli warna dan direktur eksekutif dari Pantone Color Institute. "Pink terkait dengan warna merah yang bersemangat, bergairah, lebih aktif, lebih agresif. Sehingga, warna ini diasosiasikan dengan anak laki-laki," Ujar Eiseman. Sedangkan warna biru dikaitkan dengan Virgin Mary, sehingga konotasinya pun lebih feminin. Lalu, bagaimana bisa kini warna-warna ini diasosiasikan dengan sebaliknya?
Seiring berjalannya waktu, masyarakat justru mengasosiasikan warna merah muda dengan perempuan karena warna ini memiliki keterkaitan dengan warna merah yang merupakan warna romantis dan emosional, di mana perempuan memang makhluk yang lebih emosional apabila dibandingkan dengan laki-laki. Namun, pada masa Women's Liberation Movement di tahun 1960, para wanita menantang norma sosial mengenai mereka dan membuang stereotip warna ini jauh-jauh dari pergerakan mereka dengan pesan anti-feminin dan anti-fashion, tampilan unisex pun menjadi populer. Pada saat itu, wanita kerap berpakaian dengan gaya maskulin atau setidaknya tidak feminin tanpa mengikuti stereotip gender.
Pakaian netral gender menjadi populer sampai sekitar tahun 1985. Sayangnya, hal ini tidak bertahan lama semenjak prenatal testing muncul, di mana para orang tua dapat mengetahui jenis kelamin bayi mereka dan mulai merencanakan banyak hal pra-kelahiran bayi. Para orang tua sangat giat untuk berbelanja kebutuhan bayi perempuan atau bayi laki-laki mereka. Pada saat itu pula, pakaian yang semakin dipersonalisasi maka semakin diminati oleh masyarakat. Di era ini semenjak munculnya prenatal testing warna pink dan biru semakin gencar diminati masyarakat untuk peralatan dan pakaian bayi mereka, di mana pink untuk perempuan dan biru untuk laki-laki.
Terlepas dari kebebasan berekspresi dalam berpakaian yang kita dapatkan, kedua warna stereotip ini masih sering dikaitkan dengan gender. Bahkan terkadang, laki-laki masih merasa malu untuk mengenakan pakaian berwarna pink. Padahal tanpa menurunkan maskulinitas, pink, biru, hitam, putih dan yang lainnya hanyalah warna semata.