Saat ini, masyarakat tidak hanya mendapatkan berita dari media massa, tapi juga dari media sosial. Dari segi kecepatan, media massa memang kalah telak dengan media sosial di mana tren dan informasi bisa bergulir dalam hitungan menit. Namun, cara kita mengonsumsi informasi melalui media sosial menyimpan sebuah permasalahan. Yaitu, maraknya misinformasi yang bersirkulasi di media sosial. Media sosial memungkinkan adanya persebaran Informasi yang tidak terkurasi dan tanpa verifikasi. Permasalahan ini bisa kita lihat di TikTok.
Di permukaan, TikTok yang dilabeli sebagai media sosial Gen Z mungkin terlihat sebagai media sosial yang menyediakan konten-konten ringan. Dalam waktu hitungan detik, kita bisa menemukan ulasan film, rekomendasi tempat makan, hingga beragam dance cover. Tak hanya influencer, TikTok kini juga menjadi tempat bagi para experts untuk menyebarluaskan konten edukatif sesuai profesi mereka. Misalnya, ada dokter yang membuat konten mengenai bahaya skincare abal-abal atau ada juga entrepreneur yang membuat konten mengenai tips-tips berbisnis.
Ilustrasi influencer/ Foto: Freepik |
Namun, bukan hanya yang experts saja yang membuat konten edukatif. Di TikTok, siapa pun bisa menyebarkan informasi mengenai apa pun. Bahkan, banyak masyarakat awam menjadi pseudo-experts. Masalahnya, dengan minimnya kontrol dan verifikasi di platform ini, informasi yang menyesatkan pun bisa dengan mudah menyebar. Contohnya, TikTok menjadi salah satu pusat penyebaran misinformasi saat pandemi COVID-19. Klaim-klaim menyesatkan itu di antaranya vaksin bisa menyebabkan kematian, pandemi virus corona adalah konspirasi genosida, dan hidroklorin ampuh mengobati COVID-19.
Konsekuensi misinformasi yang dengan mudah beredar di TikTok tidak berhenti di situ. Dalam situasi politik yang memanas, TikTok menjadi ladang di mana misinformasi tumbuh subur. Hal ini terjadi ketika perang Rusia-Ukraina berkecamuk. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh NewsGuard, hanya dalam waktu 40 menit saja pengguna bisa terpapar misinformasi mengenai konflik yang sedang terjadi, meski mereka tidak mencari konten tersebut. Konten-konten ini dimunculkan secara otomatis melalui algoritma dalam For Your Page atau FYP.
Ilustrasi fake news/ Foto: Freepik |
Beberapa contoh konten tersebut adalah fake livestreams, cuplikan video game, hingga video lama yang tidak ada sangkut pautnya dengan konflik yang sedang terjadi. Video-video ini dibingkai sedemikian rupa agar seakan-akan menggambarkan kondisi konflik secara real-time. Menurut NewsGuard, sulit bagi pengguna untuk membedakan mana informasi yang benar dan mana yang salah karena minimnya moderasi konten dari TikTok. TikTok tak menyediakan label atau peringatan yang bisa memberikan informasi mengenai mana sumber yang bisa dipercaya atau mana konten yang sudah diverifikasi kebenarannya.
Dibandingkan media sosial lain seperti Instagram atau Twitter, misinformasi di TikTok lebih sulit untuk diatasi. Di Twitter apabila ada informasi menyesatkan yang beredar, informasi tersebut langsung bisa ditangkal melalui fitur reply atau quote tweet di mana pengguna juga bisa menyertakan gambar atau media lain yang bisa mendukung pernyataan mereka. Sementara itu, di TikTok, sebuah video hanya bisa direspons melalui kolom komentar. Namun cara ini tidak efektif karena fitur TikTok memang tidak dibuat untuk mengakomodasi terjadinya percakapan atau dialog.
Ilustrasi menggunakan TikTok/ Foto: Pexels |
Bahkan, tidak sedikit pengguna yang lanjut scrolling tanpa melihat kolom komentar. Memang, pengguna bisa membuat video tandingan untuk mengungkap misinformasi yang beredar. Tetapi, belum tentu algoritma kita akan bekerja untuk memuat video tersebut dalam FYP para pengguna.
Akibat masalah misinformasi ini, TikTok sudah berusaha untuk mengatasinya dengan menambahkan poin mengenai misinformasi dalam Community Guidelines mereka. TikTok mengatakan akan menghapus konten-konten yang termasuk ke dalam kategori misinformasi, yaitu konten yang menebar kebencian, konten yang bisa membahayakan kesehatan, konten yang dimanipulasi untuk menyebarkan hoaks, serta konten propaganda politik yang menyesatkan. Selain itu, TikTok juga menotifikasi pengguna untuk konten-konten yang belum terverifikasi kebenarannya.
Meski TikTok telah berusaha menangkal misinformasi yang beredar di platform mereka, celah untuk penyebaran konten-konten menyesatkan masih terbuka lebar. Apalagi, zaman sekarang segala sesuatu yang sensasional bisa dengan mudah tersebar dan menjadi konten viral. Oleh karena itu, pengguna juga harus lebih bijaksana dalam menanggapi konten-konten di TikTok. Jangan sampai kita menelan semua informasi yang beredar secara mentah-mentah.
(ANL/DIR)