Era media sosial telah menciptakan budaya baru dalam kehidupan masyarakat, yaitu budaya mendokumentasikan kegiatan sehari-hari melalui sebuah foto. Dengan teknologi berupa smartphone, sekarang semua orang bisa menjadi fotografer amatiran. Netizen pun berlomba-lomba mengunggah foto mereka ke media sosial, termasuk ketika sedang berwisata. Kini, meng-update instastory atau mengunggah foto di Instagram feed pun menjadi agenda wajib yang tak kalah penting dari aktivitas menikmati tempat wisata itu sendiri.
Dalam budaya baru ini, muncul sebuah istilah baru yaitu instagrammable. Instagrammable adalah kata sifat yang mengacu pada sebuah objek yang dirasa menarik dan layak untuk difoto serta diunggah ke Instagram. Tak hanya di Instagram, tren menemukan tempat-tempat instagrammable pun juga menular ke media sosial lain seperti halnya di TikTok. Di media sosial ini, banyak orang membuat konten berupa rekomendasi tempat-tempat yang dicap "instagrammable". Mulai dari coffee shop, tempat makan, ruang publik yang dirasa estetik, hingga spot-spot wisata alam.
Tingginya antusiasme pengunjung terhadap segala sesuatu yang berbau "instagrammable" ini akhirnya mendorong para pebisnis untuk berlomba-lomba membuka spot wisata baru yang estetik. Salah satu yang ramai dibicarakan di media sosial adalah HeHa Ocean View yang berlokasi di Gunungkidul, Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta.
Tren Wisata Gunungkidul/ Foto: Wisma Putra/Detik |
Saya pun cukup terkejut, karena ketika saya berkunjung ke daerah Gunungkidul, wisata pantai di sana tidak bisa disamakan dengan wisata pantai di Bali. Meski sama-sama indah, mayoritas pantai di sana belum ditunjang oleh infrastruktur pariwisata yang lengkap. Selain itu, pantai-pantai di Gunungkidul juga masih dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Sedangkan di HeHa Ocean View, pengunjung bisa menikmati panorama laut sambil 'makan cantik' di tempat yang disediakan hingga menginap di fasilitas ocean glamping yang telah disediakan.
Ocean Glamping di Gunungkidul/ Foto: Wisma Putra/Detik |
Budaya viral menjadi salah satu pendorong utama bermunculannya tempat-tempat wisata baru ini. Namun, seperti yang kita tahu, sesuatu yang cepat viral akan juga cepat dilupakan. Apabila tempat-tempat wisata ini dibangun hanya untuk memuaskan budaya instagrammable semata, lalu bagaimana dengan nasib tempat-tempat ini nantinya ketika budaya instagrammable telah luntur? Lalu, bagaimana dengan dampak lingkungan dari tempat wisata yang muncul secara dadakan ini? Tak ada yang bisa memastikan, yang jelas faktor sustainability masih menjadi tanda tanya besar dari tempat wisata instagrammable yang semakin menjamur.
Selain masalah keberlanjutan, ada juga masalah plagiasi yang menghantui tren tempat wisata instagrammable. Bisa dibilang, tren spot wisata instagrammable memicu budaya instan dalam industri pariwisata. Oleh karena itu, beberapa lokasi wisata membuat replika dari atraksi turis yang sudah ada di negara lain. Misalnya, sebuah atraksi turis di Bandung bernama Rabbit Town menawarkan sudut-sudut instagrammable sebagai sajian utamanya. Salah satunya, dengan mereplikasi instalasi Urban Light karya seniman AS, Chris Burden. Karena terbukti melakukan plagiasi, Rabbit Town didenda Rp 1 miliar dan diminta untuk menghilangkan instalasi tersebut.
Rabbit Town/ Foto: Wisma Putra/Detik |
Sebenarnya, tak ada yang salah dari berpartisipasi dalam budaya swafoto instagrammable. Toh hal ini bisa turut mendongkrak pariwisata lokal. Hanya saja, ada beberapa dampak dari tren ini yang harus dipikirkan kembali. Selain berpotensi mengancam pariwisata berkelanjutan, tren ini juga mendorong kebiasaan buruk untuk memplagiasi sesuatu yang telah viral terlebih dahulu. Lantas pertanyaan berikutnya adalah, apakah tren tempat wisata instagrammable senilai dengan potensi dampak negatif yang ditimbulkannya?