Pemerintah Spanyol dikabarkan akan menerapkan kebijakan yang mengizinkan karyawan perempuan untuk mengambil cuti menstruasi selama tiga hari dalam sebulan. Namun, rencana ini masih berupa draf Rancangan Undang-Undang yang rencananya akan dibawa ke kabinet Pemerintahan Spanyol untuk disetujui minggu depan. Jika berhasil disahkan, Spanyol akan menjadi negara Eropa pertama yang memiliki kebijakan untuk cuti menstruasi.
Cuti ini berlaku bagi pekerja perempuan yang mengalami dismenore atau nyeri menstruasi berlebih, dengan syarat disertai surat dari dokter. Durasi cuti bisa diperpanjang apabila rasa sakit yang diderita luar biasa dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Dismenore sendiri bisa ditandai dengan berbagai gejala, mulai dari rasa sakit di bagian perut bawah, nyeri punggung bawah, rasa mual, muntah, diare, lelah berlebih, sakit kepala, hingga kehilangan kesadaran. Akibatnya, tubuh bisa merasa sakit seharian dan akan sangat sulit untuk beraktivitas.
Tentunya, kebijakan ini merupakan terobosan yang berdampak baik bagi para perempuan. Sebab, kebijakan ini mengakui dan mengakomodasi kebutuhan pekerja perempuan yang mungkin sebelumnya tak bisa mengambil cuti ketika mengalami menstruasi. Selain Spanyol, sebenarnya ada beberapa negara lain yang juga sudah memberlakukan menjamin hak pekerja perempuan untuk mengambil cuti menstruasi.
Jepang sendiri merupakan negara pertama yang memberlakukan kebijakan ini melalui Undang-Undang Tenaga Kerja tahun 1947. Selain Jepang, Korea Selatan, Zambia, dan Indonesia juga turut menjadi negara yang memiliki kebijakan cuti menstruasi.
Di Indonesia, cuti menstruasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengizinkan untuk mengambil cuti menstruasi selama dua hari. Untuk mengambil cuti haid, kebijakan ini tidak menyebutkan keharusan untuk menyertakan surat dokter. Selain itu, pekerja tetap akan diupah selama mengambil cuti menstruasi. Namun, penerapan kebijakan ini bisa berbeda-beda tergantung isi perjanjian kerja antara perusahaan dengan pekerja.
Di sisi lain, belum banyak pekerja yang menyadari akan adanya kebijakan ini. Padahal, cuti menstruasi merupakan hak dari pekerja perempuan. Pun ketika banyak dari kita sudah menyadari adanya kebijakan ini, terkadang cuti menstruasi masih diselimuti stigma negatif. Akibat stigma terhadap menstruasi, pekerja yang mengambil cuti bisa saja dicap malas oleh atasan. Jadi meskipun kebijakannya sudah ada, dibutuhkan lingkungan kerja yang suportif agar pekerja perempuan bisa merasa tenang ketika mengambil cuti menstruasi.