Berpaling dari kegembiraan momen Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, kabar kurang mengenakan justru terdengar dari segenap pelaku penerbitan Tanah Air. Pasalnya, kuota nomor International Standard Book Number (ISBN) di Indonesia tengah mengalami krisis. Atau lebih tepatnya, hampir mencapai batas maksimum dan terancam kehabisan jatah terbit. Ini bisa berakibat buruk bagi ekosistem perbukuan di Indonesia, sekaligus mempengaruhi arus kekaryaan para sastrawan dan rekan-rekan cendekiawan.
ISBN sendiri merupakan deretan angka 13 digit sebagai pemberi identifikasi unik secara internasional terhadap satu buku maupun produk seperti buku yang diterbitkan oleh penerbit. Setiap nomor memberikan identifikasi unik untuk setiap terbitan buku dari setiap penerbit, sehingga keunikan tersebut memungkinkan pemasaran produk yang lebih efisien bagi toko buku, perpustakaan, universitas maupun distributor.
Nomor ISBN diberikan oleh Badan Internasional ISBN yang berkedudukan di London. Sementara di Indonesia, Perpustakaan Nasional RI menjadi Badan Nasional ISBN yang berhak memberikan ISBN kepada penerbit di Indonesia dan Katalog Dalam Terbitan (KDT). Pada praktiknya, permintaan ISBN dan KDT di Tanah Air telah dipermudah dengan layanan satu pintu. Sekali informasi judul terbitan diserahkan, akan menjadi bagian dari database bibliografi dan akan muncul di terbitan Katalog Dalam Terbitan di Perpusnas, sehingga memudahkan pelacakan buku pada perpustakaan atau toko-toko buku.
Meski demikian, kemudahan proses penerbitan ISBN yang ada di Indonesia nyatanya malah mengakibatkan masalah baru. Yaitu krisisnya nomor terbit ISBN, akibat produksi yang berlebihan khususnya pada masa Pandemi Corona. Hal ini lantas mengancam arus kegiatan para pelaku percetakan nasional, di mana terdapat kemacetan antrian ISBN, sehingga mungkin saja mengganjal suatu terbitan berkualitas untuk segera beredar.
Ilustrasi buku/ Foto: Freepik |
Penyebab krisis ISBN di Indonesia
Krisis ISBN yang terjadi di Indonesia bermula ketika Badan Internasional ISBN di London memberi teguran pada Perpustakaan Nasional (Perpusnas) beberapa waktu lalu, karena ketidakwajaran produksi buku di Indonesia. Pada tahun 2020 dan 2021, total sebanyak 208,191 judul buku di Indonesia diberikan nomor ISBN.
Sementara itu, jumlah keseluruhan alokasi nomor ISBN yang dimiliki Indonesia per 2018 lalu hanya sebesar 1 juta nomor. Jadi, dalam hitungan 4 tahun saja, Indonesia tercatat telah menerbitkan total 623.000* (data perpusnas 2021) judul buku dengan ISBN, yang berarti telah melebihi setengah dari total keseluruhan.
Akibatnya, dengan sisa 377.000 nomor ISBN yang tersisa, Indonesia hanya dapat menerbitkan sekitar 67.340 judul buku per tahun, apabila tidak ingin kehabisan kuota ISBN sebelum jatah ISBN baru diberikan dalam jangka 6 tahun ke depan. Padahal biasanya, kuota ISBN suatu negara baru akan habis dalam rentang 1 dekade atau bahkan lebih dari itu.
Meskipun demikian, adanya lonjakan produksi buku yang terbilang sangat subur seperti data di atas, ternyata tidak sejalan dengan beberapa hal yang seharusnya ikut melonjak ketika banyak buku ber-ISBN yang diterbitkan. Seperti tidak meningkatnya minat baca masyarakat; indeks literasi di Indonesia yang justru jalan di tempat; hingga tidak bertumbuhnya pendapatan para pelaku penerbitan buku di Indonesia.
Selain itu, permasalahan ini juga disinyalir terjadi karena adanya kelatahan pemberian ISBN kepada naskah-naskah publikasi yang tidak tepat guna. Akibatnya, arus pemberian ISBN beredar di luar kontrol dan jauh melampaui kuota seharusnya, dan mengakibatkan banyak permasalahan baru di ekosistem penerbitan Indonesia.
Ilustrasi buku/ Foto: Freepik |
Bagaimana solusinya?
Dalam merespons krisis ISBN yang terjadi, Perpusnas sebagai pihak yang berwenang dikabarkan tengah mengupayakan pembatasan nomor ISBN, di mana kurasi ketat pemberian ISBN bagi publikasi yang kurang relevan, tidak lagi menjadi prioritas penerima ISBN-karena memang tidak memenuhi klasifikasinya.
Terkait dengan hal-hal di atas, pemberian ISBN memang seharusnya lebih berfokus kepada buku yang diterbitkan di toko buku atau paling tidak dicetak dengan jumlah banyak untuk didistribusikan dan disebarluaskan. Bagi penulis yang hanya menerbitkan buku sendiri, atau hanya untuk kepentingan sekolah, kampus, dan organisasi atau komunitas, penerbitan ISBN tidak boleh diberikan begitu saja, karena memang fungsi ISBN tidak tepat bagi koridor buku yang tidak berdaya jangkau luas.
Oleh karenanya, pengawasan pemberian ISBN benar-benar harus diterapkan secara ketat, agar arus berlebih seperti yang terjadi sekarang tidak terulang lagi dan kembali menyebabkan masalah yang merepotkan banyak pihak terkait. Khususnya para penerbit buku dan rekan-rekan penulis yang ingin menerbitkan buku secara komersil dan meluas.
Di samping itu, kesadaran penerbit atau pemilik naskah mengenai kegunaan ISBN juga harus dibenahi. Hal ini berguna agar segala naskah yang tidak memiliki urgensi terhadap pemberian nomor ISBN, tidak latah mengajukan nomor ISBN. Sebab faktanya, ISBN memang bukanlah penentu kesahihan suatu karya tulis. Dengan atau tanpa ISBN, suatu karya akan tetap berkualitas dan diakui apabila benar mengandung banyak manfaat di dalamnya.
Di sisi lain, para pelaku penerbitan dengan jumlah publikasi terbatas juga lebih disarankan untuk tidak bergantung pada ISBN dan lebih dianjurkan menggunakan QR Code Book Number (QRCBN). Pada dasarnya, cara kerja QRCBN tidak jauh berbeda dengan ISBN, yang mana berguna untuk melegitimasi dan mengidentifikasi informasi buku yang telah diterbitkan untuk beredar. Hanya saja teknologi yang digunakan sedikit berbeda yakni melalui kecanggihan QR Code, namun tetap bisa dimanfaatkan oleh Perusahaan Penerbitan atau self publishing, karena turut memiliki dasar legalitas yang jelas.
Ke depannya, permasalahan penerbitan yang terjadi seperti sekarang ini diharapkan tidak lagi terulang. Untuk itu, sejumlah aktivitas penerbitan yang vital harus kita perhatikan bersama, seperti halnya kontrol kualitas ketat pada terbitan yang hendak diberi ISBN. Sehingga di masa datang, banyaknya naskah yang terbit bisa benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas, sekaligus menjadi ladang pendaringan yang jernih bagi para pelaku penerbitan, termasuk para penulis. Bukan sekadar lonjakan angka tanpa manfaat yang benar-benar bisa dirasakan kegunaannya.
(RIA/DIR)