Sejak lama, kita telah mempercayai bahwa manusia memiliki hak untuk memanfaatkan alam demi kelangsungan hidup dan juga pembangunan. Namun, kepercayaan ini membuat manusia merasa memiliki hak untuk mengambil sebanyak-banyaknya dari alam, tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Kepercayaan ini merupakan perspektif antroposentris, sebuah pemikiran dan cara hidup yang memusatkan manusia di tengah segala sesuatu. Imbasnya, lingkungan menjadi rusak dan ancaman krisis iklim semakin ada di depan mata.
Pola pikir antroposentris tercerminkan salah satunya dalam industri pertanian. Praktek pertanian yang paling lazim dilakukan adalah pertanian monokultur di mana lahan pertanian hanya ditanami satu jenis tanaman. Model perkebunan monokultur berskala besar dapat berimbas buruk bagi lingkungan, karena menyebabkan penurunan kualitas tanah. Selain itu, perkebunan monokultur juga bisa mengganggu keseimbangan ekosistem karena menggeser keragaman spesies lain yang mendiami ekosistem tersebut. Dalam praktek seperti ini, tidak ada timbal balik dari manusia kepada alam.
Untuk merespon masalah ini, muncul sebuah gerakan pertanian yang bernama permaculture. Diambil dari kata permanent agriculture, istilah ini pertama digagas oleh Bill Mollison dan David Holmgren, dua peneliti pertanian dari Australia. Meski demikian, sebenarnya praktik dari permakultur sendiri sudah ada sejak lama dan banyak diterapkan oleh masyarakat tradisional. Permakultur merupakan desain ekosistem berkelanjutan yang holistik yang mengintegrasikan alam dan manusia melalui suatu sistem yang saling menguntungkan.
Dalam permakultur, sistem yang dibuat berusaha untuk sebisa mungkin mereplikasi sistem alamiah yang sirkular, tertutup, dan tidak menghasilkan sampah. Tujuan permakultur sebagai pertanian berkelanjutan adalah untuk memulihkan tanah, menghemat air, dan mengarahkan aliran limbah. Namun, sistem ini bisa diimplementasikan ke dalam segala hal yang kita bangun, mulai dari taman, kebun, bangunan, hingga komunitas. Permakultur bisa dilakukan baik di pedesaan maupun perkotaan.
Ada tiga etika dasar yang harus menjadi landasan dari praktik permakultur. Pertama, peduli dengan bumi. Pada dasarnya, etika ini mendorong kita untuk merawat dan menjaga alam, baik tanah, air, iklim, dan segala aspek lain yang ada di dalamnya. Etika ini harus dibawa ke dalam semua keputusan yang kita buat, mulai dari makanan yang kita santap hingga pakaian yang kita gunakan. Kedua, yaitu etika care of people atau merawat komunitas. Etika ini menjadi penting dalam permakultur sebab salah satu aspek penting dari praktek yang berkelanjutan adalah bagaimana sistem ini bisa memenuhi kebutuhan dan memberdayakan komunitas. Sedangkan etika ketiga, yaitu fair share. Etika ini berkaitan dengan pemahaman bahwa bumi yang kita tinggali bukanlah untuk diri kita sendiri. Sehingga, kita harus bisa berbagi ruang hidup untuk orang lain maupun organisme lain yang ada di bumi.
Praktik permakultur sendiri bervariasi. Beberapa metodenya adalah wanatani atau agroforestry, hugelkultur yaitu metode pengomposan dengan menggunakan kayu yang terdekomposisi, pemanenan air hujan yang ditampung dan digunakan untuk kebutuhan manusia, hingga pelapisan mulsa yang bisa menjaga kelembaban tanah.
Siapa pun bisa menerapkan permakultur. Apabila kamu tidak memiliki lahan yang luas, kamu bisa saja memperluas bidang tanam di ruang yang ada melalui teknik taman vertikal ataupun akuaponik. Kamu juga bisa menanam tanaman pangan yang bisa kamu manfaatkan untuk konsumsi sehari-hari, misalnya seperti cabai dan tomat. Kemudian, sampah organik dari makanan yang kamu konsumsi bisa kamu olah menjadi kompos yang bisa digunakan sebagai pupuk organik. Dengan demikian, ada siklus yang berulang dan timbal balik.
Kalau kamu ingin mempelajari lebih lanjut mengenai permakultur, terdapat beberapa komunitas yang sudah membangun pertanian permakulturnya sendiri dan membuka kelas-kelas bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya. Salah satunya adalah Kebun Kumara yang telah membangun kebun pangan di Situ Gintung, Ciputat. Selain itu, apabila kamu ingin belajar mengenai relasi timbal balik antara manusia dengan alam, kamu bisa mengunjungi Bumi Langit di Yogyakarta.
Melalui permakultur yang bisa diterapkan di mana saja, kawasan perkotaan pun bisa menjadi ruang hidup yang berkelanjutan. Meski permakultur belum menjadi praktek arus utama, tapi kita bisa memulainya melalui langkah-langkah kecil yang sesuai dengan filosofi utamanya, di mana manusia dan alam saling menguntungkan.
(ANL/MEL)