Masyarakat dibuat geger oleh pembongkaran tembok benteng Keraton Kartasura di Sukoharjo, Jawa Tengah. Padahal tembok ini merupakan jejak peninggalan dari Kerajaan Mataram. Pembongkaran tembok ini dilakukan oleh seorang warga yang merupakan pemilik lahan yang ingin membangun indekos di atas lahan yang dibelinya seharga Rp 850 juta dari seorang warga Lampung. Akibatnya sebagian tembok itu pun diruntuhkan demi membuka akses untuk kendaraan material yang akan lalu lalang. Tembok yang dibongkar panjangnya sekitar 7,4 meter dengan lebar 2 meter dan tinggi 2,5 meter, dari keseluruhan panjang tembok 65 meter.
Warga tersebut mengaku ia tak mengetahui bahwa tembok yang sudah menjadi reruntuhan tersebut merupakan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah panjang. Ia pun mengatakan bahwa Ketua RT setempat justru juga memintanya untuk membongkar tembok tersebut, lantaran selama ini uang kas warga terserap banyak untuk membersihkan rumput liar yang memenuhi lahan. Memang, tembok tersebut berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan tidak kelihatan sama sekali seperti cagar budaya atau bekas peninggalan sejarah. Padahal, pemerintah pusat telah mendelegasikan pengelolaan dan pemeliharaan reruntuhan Keraton Kartasura ke Pemerintah Kabupaten Sukoharjo sejak 1 Januari 2020.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukoharjo pun menyampaikan bahwa tembok tersebut sudah didaftarkan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya sebagai Benda Cagar Budaya Jawa Tengah, sehingga masih dalam proses penetapan. Oleh karena itu, warga pemilik lahan yang membongkar tembok tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Cagar Budaya. Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan kritik keras terhadap pemerintah dan dirinya sendiri. Sebab menurutnya, peristiwa ini harus dijadikan pelajaran bagi pemerintah untuk mengelola cagar budaya dengan lebih maksimal. Proses pembongkaran tembok tersebut pun sementara dihentikan dan sekarang sedang menunggu penyidikan dari kepolisian.
Wajar saja kalau pembongkaran tembok ini mengundang kemarahan dari berbagai pihak. Tembok yang seharusnya menjadi cagar budaya dengan nilai historis yang tinggi justru diruntuhkan. Namun di sisi lain, peristiwa pembongkaran tembok ini menunjukkan rendahnya kepedulian masyarakat Indonesia, baik warga maupun pemerintah, terhadap situs bersejarah. Sebab, ini bukan pertama kalinya sebuah situs bersejarah ditelantarkan dan menjadi tidak terawat.
Kalau kalian mencari "situs bersejarah tidak terawat di Indonesia" di Google, kalian pasti bisa menemukan berbagai berita mengenai macam-macam bangunan bersejarah dari berbagai lokasi. Salah satunya, situs sejarah di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Di Aceh Singkil, terdapat puluhan situs bersejarah yang sudah terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan diantaranya merupakan lokasi makam Syekh Abdul Rajak yang terletak di kawasan situs bersejarah Singkil Lama. Kawasan itu dipenuhi dengan semak belukar sehingga terlihat seperti hutan belantara. Makam kuno itu pun hanya dilengkapi dengan sebuah pondok sederhana yang dibangun oleh swadaya masyarakat. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Singkil pun mengatakan ingin agar situs-situs bersejarah di kawasan ini bisa dipugar dan dirawat. Namun sayangnya, usaha untuk pemugaran terkendala anggaran yang minim.
Selain itu, ada juga Sendang Beji yang berada di Kabupaten Ponorogo. Sendang ini diyakini sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit di Ponorogo. Kolam ini bahkan sudah diteliti oleh tim Balai Pelestarian Cagar Budaya dari Trowulan, Mojokerto. Sayang, keadaan dari situs ini semakin memprihatinkan. Dulu, sendang ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk pengairan. Namun kini, warga setempat enggan datang ke sana karena lokasi tersebut diliputi oleh cerita mistis. Kondisi Sendang ini pun dipenuhi dengan semak belukar dan kondisi arca yang tidak terawat.
Dua kasus di atas hanyalah beberapa di antara banyaknya situs bersejarah yang terlupakan dan terabaikan. Memang, perlu anggaran yang besar untuk bisa mengelola peninggalan bersejarah. Minimnya anggaran dan perhatian dari pemerintah setempat membuat terkadang warga yang harus bekerjasama untuk melestarikan situs-situs ini. Tapi, usaha warga setempat tidaklah cukup. Ketika pengelolaan situs bersejarah dan cagar budaya tidak diprioritaskan oleh pemerintah, yang terjadi adalah seperti kasus pembongkaran Keraton Kartasura. Padahal, Indonesia memiliki peninggalan sejarah yang sangat kaya. Kalau Indonesia tidak peduli dengan peninggalan sejarahnya sendiri, mungkin kisah sejarah itu sendiri perlahan juga akan tergerus zaman dan terlupakan.
(ANL/DIR)