Pada tanggal 1 April 2022 lalu, Twitter sempat mengumumkan akan menambahkan tombol edit. Awalnya dikabarkan sebagai lelucon April Mop, tapi pihak Twitter kemudian memberikanĀ klarifikasi bahwa mereka benar-benar sedang mengerjakan fitur itu. Sebagai konteks, ini merupakan salah satu fitur yang paling diinginkan oleh para penggunanya untuk diimplementasikan sejak awal. Diskursus terkait fitur ini kerap menuai pro-kontra. Meski memudahkan bagi para pengguna yang ingin mengoreksi typo setelah cuitan diterbitkan, fitur ini memiliki potensi penyebaran hoaks.
Di waktu yang berdekatan, tepatnya pada tanggal 4 April 2022, Elon Musk mengakuisisi 9,2 persen saham Twitter yang kemudian membuatnya otomatis menjadi pemegang saham terbesar. Dua kejadian yang sempat menggemparkan dunia maya ini sempat dihubung-hubungkan. Tidak sedikit juga yang berspekulasi bahwa sang miliarder adalah dalang di balik wacana tombol edit di Twitter. Bagaimana tidak, sehari setelah proses akuisisi tersebut berlangsung, Elon Musk membuatĀ poll di akunnya terkait hal tersebut. Dalam klarifikasi dari pihak Twitter itu juga sekaligus membantah bahwa keputusan untuk mulai mengimplementasi tombol edit tidak ada sangkut-pautnya dengan poll yang dilakukan oleh Musk.
Elon Musk bisa dibilang adalah seorang advokat kebebasan berpendapat. Ia bahkan menyebut dirinya sebagai "free speech absolutist". DalamĀ TED2022 di Vancouver, Kanada, Elon Musk diundang sebagai pembicara utama. Saat ditanya mengenai akuisisinya terhadap Twitter, ia menjawab, "I think it's very important for there to be an inclusive arena for free speech. Twitter has kind of become the de facto town square."
Lantas, apa yang akan terjadi jika Elon Musk memiliki andil yang besar dalam mengatur kebijakan kebebasan berpendapat pada platform tersebut? Menurut Kate Klonick, seorang profesor hukum di St. John's University, jika Elon Musk menginginkan kebebasan berpendapat bagi seluruh pengguna Twitter, berarti ia membenarkan konten eksplisit seperti pornografi dan ujaran kebencian untuk tetap ada di platform tersebut, sebagaimana dilansir dari NPR.
Twitter juga sebelumnya sudah pernah mengambil tindakan terhadap kasus serupa. Pada tahun 2021, Twitter menutup akun presiden ke-45 Amerika Serikat, Donald Trump, secara permanen karena mengglorifikasi kekerasan saat terjadinya serangan pada Capitol.
Meski tidak melulu tentang konten eksplisit yang bebas beredar, kebebasan berpendapat memang penting bagi kaum-kaum yang tertekan untuk bersuara dan membebaskan diri dari opresi. Pada akhirnya pun semua tergantung kebijakan dari masing-masing platform untuk memoderasi konten-konten yang beredar sembari terus mendukung kebebasan berpendapat para penggunanya. Selain itu, hukum yang kuat untuk melindungi korban akibat penyalahgunaan kebebasan berpendapat juga diperlukan.