Pada 22 Maret lalu, sejumlah musisi dan pencipta lagu mengunjungi Komisi III DPR RI. Kunjungan ini diinisiasi oleh Federasi Serikat Musisi Indonesia atau FESMI yang diketuai oleh Candra Darusman. Beberapa musisi dan pencipta lagu tersebut adalah Ikang Fawzi, Ikke Nurjanah, Marcell Siahaan, Endah Widiastuti, dan Piyu Padi. Kunjungan para musisi ini adalah buntut dari gugatan uji materi PT Musica Studios terkait UU Hak Cipta 2014 ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan November tahun 2021. Para musisi meminta dukungan DPR untuk membatalkan gugatan PT Musica Studios dan mempertahankan UU Hak Cipta yang ada.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa pada awalnya PT Musica Studios mengajukan gugatan uji materi dan mengapa musisi ramai-ramai menentangnya?
PT Musica Studios merupakan salah satu perusahaan rekaman terbesar di Indonesia. Bagi banyak musisi, terutama musisi arus utama, perusahaan rekaman seperti PT Musica Studios berfungsi sebagai pemodal dan pendukung proses produksi karya-karya mereka, alias sebagai produser. Karena itu, ketika sebuah karya diciptakan dan didistribusikan, master rekaman menjadi milik dari produser. Hal ini berbeda dengan, misalnya, musisi independen yang memproduksi lagu-lagunya secara mandiri dan oleh karenanya memiliki hak atas master rekamannya sendiri.
Dalam sistem jual putus yang banyak digunakan oleh musisi dan produser, pemilik master rekaman (produser) tidak perlu memberikan kompensasi tambahan kepada musisi atau pencipta lagu ketika kontrak sudah ditandatangani dan lagu tersebut sudah dibeli. Akibatnya, yang terjadi adalah ketimpangan keuntungan ekonomi antara musisi dengan produser. Royalti yang didapatkan produser bisa lebih besar dibandingkan dengan royalti yang diterima oleh musisi ataupun pencipta lagu.
Ilustrasi hukum/ Foto: CQF-Avocat - Pexels |
Maka pada tahun 2014, pemerintah menambahkan pasal reversionary rights yang sebelumnya tidak ada di UU Hak Cipta tahun 2002. Reversionary rights ini mengembalikan hak ekonomi kepada pencipta, penyanyi, dan musisi pengisi rekaman setelah 25 tahun transaksi jual putus dilakukan. Sehingga setelah 25 tahun, musisi dan pencipta lagu bisa menegosiasikan kembali royalti yang akan mereka dapatkan. Apabila tidak terjadi kesepakatan antara musisi dan produser, maka produser tidak bisa memanfaatkan hak ekonomi dari master rekaman.
Sementara itu, dalam gugatan yang diajukan oleh PT Musica Studios, mereka meminta Mahkamah Konstitusi untuk mencabut reversionary rights yang ada dalam pasal 18, 30, dan 122 yang berlaku untuk lagu serta memperpanjang hak ekonomi atas master rekaman dari 50 tahun menjadi 70 tahun. Salah satu alasannya, karena mereka merasa produser membutuhkan modal yang banyak, sehingga butuh waktu lebih banyak untuk proses pengembalian modal. Sedangkan, menurut mereka, produser merupakan investor terbesar dalam rantai produksi musik. Tak hanya itu, Musica Studios juga berargumen bahwa dengan hak ekonomi yang diperpanjang menjadi 70 tahun, mereka bisa berkontribusi dalam pelestarian budaya lokal dengan menghidupkan katalog lama mereka.
Ilustrasi musik/ Foto: Snapwire - Pexels |
Gugatan Musica Studios beserta argumen yang mereka berikan membuat banyak musisi gerah. Salah satu narasi tandingan diberikan oleh Cholil Mahmud, vokalis band Efek Rumah Kaca yang menuliskan opininya di Pop Hari Ini. Menurutnya, pernyataan bahwa produser merupakan investor terbesar dalam rantai produksi musik seakan-akan mengecilkan profesi lain dalam industri musik termasuk pencipta lagu dan musisi.
Selain itu, menurutnya, apabila reversionary rights dicabut, maka potensi kerugian yang dialami musisi dan pencipta lagu setelah jual putus akan semakin besar. Cholil bahkan mengatakan, apabila produser merasa keuntungan yang mereka dapatkan tidak impas, lebih baik biaya produksi dibuat transparan saja agar publik juga bisa melihat pembagian ekonomi yang selama ini terjadi di dapur industri musik.
DPR sendiri mengatakan bahwa mereka sudah mengambil posisi di Mahkamah Konstitusi untuk mempertahankan UU Hak Cipta tahun 2014 dan mendukung para musisi. Sehingga sekarang posisinya adalah mereka menunggu keputusan yang akan diambil oleh Mahkamah Konstitusi. Selama ini, musisi tanah air memang belum bisa hidup sejahtera. Dengan kondisi di mana ada ketimpangan dalam hak ekonomi atas sebuah karya, sudah seharusnya produk hukum kita bisa melindungi hak-hak musisi Tanah Air.
(ANL/DIR)