Ketika masih bersekolah, saya selalu gugup ketika harus berbicara di depan kelas menggunakan bahasa Inggris. Sebab bahasa Inggris saya tak sebagus teman-teman saya yang lain, dan ketika pengucapan saya ada yang salah, saya takut ditertawakan. Ketika itu, kemampuan berbahasa Inggris memiliki dampak yang besar terhadap kepercayaan diri saya.
Tapi beranjak dewasa, ketakutan itu mulai pudar setelah saya menyadari bahwa tidak seharusnya saya merasa minder hanya karena kurang mahir berbahasa Inggris. Lagipula, penggunaan bahasa menurut saya kembali lagi pada preferensi masing-masing. Tapi, sesekali rasa minder itu muncul ketika saya sedang berbicara di depan banyak orang. Mengapa susah sekali untuk menghapus rasa minder yang muncul dari kemampuan berbahasa asing?
Ketika saya merefleksikan mengapa rasa minder ini sulit untuk dihilangkan, sulit untuk melepasnya dari realita bagaimana kita selama ini memperlakukan orang-orang yang kurang mahir berbahasa Inggris. Salah satu contohnya adalah ketika anak sulung Ustadz Yusuf Mansur, Wirda Mansur, diduga berbohong mengenai pengalaman kuliahnya di Oxford, Inggris. Tapi, bukan hanya pengalaman kuliah Wirda saja yang disoroti netizen. Kemampuan bahasa Inggris Wirda juga turut menjadi sorotan karena dianggap ngawur dan tak mencerminkan pengalamannya.
Tidak hanya itu, di Instagram ada satu akun yang didedikasikan khusus untuk mengoreksi bahasa Inggris para influencer, yaitu @englishbusters. Tagline dari akun ini adalah "Making Indonesian influencers learn better English, one caption at a time." Mungkin pembuat akun ini memiliki maksud yang baik, yaitu membantu memperbaiki kemampuan bahasa Inggris para influencer. Secara influencer memiliki banyak pengikut dan seharusnya memberikan contoh yang baik bagi para pengikutnya. Tapi, dengan melakukan public shaming, akun ini bisa mewajarkan perilaku menertawakan mereka yang kurang mahir berbahasa Inggris.
Lalu, bagaimana seharusnya kita memperlakukan mereka yang kurang mahir berbahasa Inggris?
Bahasa Inggris memang didapuk sebagai bahasa internasional. Bahkan di beberapa negara di mana bahasa aslinya bukan bahasa Inggris, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa resmi. Salah satunya, yaitu Sudan Selatan yang resmi menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi setelah merdeka di tahun 2011. Keputusan ini diambil untuk melepaskan Sudan Selatan dari pengaruh Arab yang selama ini menjajah mereka.
Jacob Mikanowski dari The Guardian menulis bahwa dengan diadopsinya bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris lantas seakan-akan menjadi standar bagi banyak orang untuk meraih status sosial yang lebih tinggi; kesempatan bisnis yang lebih terbuka lebar dan akses ke pendidikan yang lebih berkualitas. Bahasa Inggris pun seakan-akan menjadi simbol akan segala sesuatu yang "maju" dan "modern". Padahal, ada banyak sekali bahasa di dunia, namun hanya Bahasa Inggris yang dianggap sebagai bahasa universal.
Menurut Billy Nathan Setiawan, mahasiswa doktoral Applied Linguistics di University of South Australia, kita tidak perlu minder atau meminta maaf ketika berbicara bahasa Inggris dengan aksen kita sendiri. Sebab dengan merasa minder atau meminta maaf, secara tidak langsung kita mendukung praktik linguistic imperialism atau penjajahan bahasa.
Penjajahan bahasa adalah bentuk penjajahan yang dilakukan dalam bentuk dominasi bahasa. Ketika Bahasa Inggris menjadi bahasa internasional yang seakan-akan harus digunakan di mana-mana, negara-negara native speakers seperti Inggris dan Amerika mendapat keuntungan politik. Ada anggapan bahwa berbahasa Inggris yang baik dan benar adalah yang sesuai dengan kaidah-kaidah para native speakers. Padahal di sisi lain, ketika bahasa Inggris mendunia, lahir variasi-variasi baru yang mencerminkan percampuran antara bahasa Inggris dengan bahasa asli. Salah satu contohnya, adalah singlish di Singapura atau spanglish di Spanyol.
Dalam penjajahan bahasa, variasi-variasi baru ini dianggap sebagai bahasa yang lebih inferior dan tidak proper. Padahal, menurut Billy, lahirnya variasi bahasa Inggris dengan aksen yang berbeda-beda ini justru menunjukkan bahwa bahasa Inggris native speakers seharusnya tidak lagi bisa menjadi acuan tunggal. Lagipula, bahasa Inggris adalah bahasa kedua.
Memiliki keterampilan berbahasa lebih dari satu bahasa saja sudah menjadi pencapaian tersendiri. Tidak memiliki kemampuan yang baik dalam berbahasa asing bukanlah suatu kegagalan, dan tidak seharusnya ditertawakan. Sudah saatnya broken english mulai dipandang sebagai sesuatu yang wajar alih-alih sebagai anomali. Jadi, tak perlu minta maaf atau merasa minder apabila kemampuan berbahasa Inggris-mu masih kurang baik.
(ANL/DIR)