Insight | General Knowledge

Whataboutism: Strategi Pengalihan Isu Melalui Retorika

Senin, 14 Mar 2022 10:09 WIB
Whataboutism: Strategi Pengalihan Isu Melalui Retorika
Foto: Unsplash Tingey Injury Law Firm
Jakarta -

Ketika konflik pecah antara Rusia dan Ukraina, banyak yang mengutuk Vladimir Putin dan bersimpati terhadap warga Ukraina, termasuk warga Indonesia. Tapi, respons yang diberikan tak melulu bernada simpati, ada juga yang bernada nyinyir. Beberapa netizen membandingkan apa yang terjadi di Ukraina dengan apa yang terjadi di Palestina. Mereka bertanya mengapa orang-orang yang mengekspresikan simpati kepada Ukraina tidak melakukan hal yang sama ketika konflik berkecamuk di Palestina.

Orang-orang yang bersimpati kepada Ukraina secara halus dituding sebagai hipokrit, dan perdebatan melebar ke peristiwa lain. Konflik yang terjadi sebelumnya seperti di Suriah, Palestina, dan Afghanistan, akhirnya kembali ramai dibicarakan. Padahal, walau konflik di daerah-daerah lain sama pentingnya, bukan berarti warga Ukraina layak untuk menjadi korban perang. Logical fallacy atau kesalahan logika berpikir ini disebut sebagai whataboutism.

Menurut Dictionary.com, whataboutism adalah sebuah taktik percakapan yang menggunakan retorika, di mana seseorang merespons sebuah argumen dengan membelokkan fokus percakapan ke subjek lain yang tidak relevan namun dianggap setara. Biasanya, taktik ini digunakan ketika seseorang sedang dituduh sesuatu atau sedang menerima kritik. Lalu untuk menghindari tuduhan atau kritikan tersebut, ia malah mengungkit kesalahan yang pernah dilakukan oleh lawan bicaranya. Dengan begitu, pihak yang tertuduh bisa menutupi kesalahannya dengan kesalahan orang lain.

Whataboutism tidak hanya digunakan dalam percakapan sehari-hari, ia juga bisa menjadi strategi politik. Whataboutism marak digunakan sebagai strategi propaganda rezim ketika Perang Dingin, terutama oleh Uni Soviet. Kala itu, Uni Soviet banyak menerima kritik dari kubu Barat atas pelanggaran HAM yang mereka lakukan. Misalnya, kritik terhadap invasi Uni Soviet di Afghanistan dibalas dengan kritik terhadap peran AS dalam melanggengkan apartheid di Afrika Selatan. Pada dasarnya, Uni Soviet menghindari kritik dengan membalas bahwa Amerika, juga sama jahatnya atau bahkan lebih buruk dari mereka.

Hari ini, whataboutism banyak digunakan oleh individu politisi. Presiden Trump pun ikut melakukannya, seperti saat kebijakannya dikritik, Trump mengalihkan isu dengan mengungkit kebijakan Obama, yang menurutnya lebih buruk. Dalam panggung politik, whataboutism berfungsi sebagai propaganda yang menutupi kejahatan yang dilakukan sebuah rezim. Namun, whataboutism juga banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari apabila lawan bicaramu sedang berusaha mengalihkan isu. Lantas, bagaimana menghadapi whataboutism dalam sebuah percakapan?

Apabila lawan bicaramu melakukan whataboutism, tapi kamu setuju dengan isu yang ia angkat, kamu bisa meresponsnya dengan pertama-tama menyetujui argumennya. Tapi setelah kamu setuju dengan argumennya, coba putar balik percakapan ke topik awal yang kamu bicarakan. Atau, kalau kamu tidak setuju dengan argumen lawan bicaramu, kamu bisa meresponsnya dengan menunjukkan fakta-fakta yang didukung data. Tapi yang terpenting dalam menghadapi whataboutism, adalah untuk tetap tenang dalam meresponsnya. Sebab, kalau kamu menanggapi dengan kepala yang panas, bisa-bisa kamu justru terpancing oleh lawan bicaramu dan terjebak dalam debat kusir yang tak berkesudahan.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS