Insight | General Knowledge

Sadvertising: Strategi Pemasaran yang Mempermainkan Emosi

Senin, 14 Mar 2022 12:00 WIB
Sadvertising: Strategi Pemasaran yang Mempermainkan Emosi
Foto: Gorodenkoff Shutterstock
Jakarta -

Menjelang Ramadhan, kita pasti menemukan iklan-iklan emosional yang dibalut dengan kesedihan. Salah satu contohnya, iklan sebuah department store tahun 2017. Iklan ini dibuka dengan potret sebuah keluarga   yang terdiri dari suami, istri, dan seorang ibu   yang sedang menjalankan ibadah puasa. Diceritakan, sepasang suami istri ini selalu enggan ketika diajak sahur, beli baju lebaran, dan tarawih, oleh sang ibu.

Kemudian, muncul narasi "Semenjak ibu tinggal di rumah, hidup kita berubah." Si ibu kemudian diajak pergi naik mobil, seraya bertanya "Kita mau ke mana?". Tibalah mereka sekeluarga di tempat pemakaman. Sambil memandang batu nisan, muncul narasi "Ingatan Ibu terhenti saat Bapak meninggal Ramadhan tahun lalu." Duar! Iklan department store telah disulap menjadi film pendek ber-plot twist yang menguras emosi.

Selain iklan department store tersebut, ada banyak iklan lainnya yang juga menguras emosi dan memancing kesedihan. Di Thailand, jenis iklan ini juga sangat populer. Misalnya, iklan "Unsung Hero" yang bercerita tentang seorang laki-laki yang berbuat kebaikan kecil untuk orang-orang di sekelilingnya. Penonton tak akan menyangka, bahwa ini adalah iklan perusahaan asuransi. Jenis iklan ini disebut sebagai sadvertising, gabungan antara kata sad dan advertising.

Sadvertising adalah jenis iklan yang memunculkan rasa sedih atau melankoli untuk menarik perhatian audiens. Apabila dulu iklan banyak yang memunculkan rasa bahagia atau bahkan kejenakaan, kini justru banyak brand yang menggunakan iklan sedih untuk menarik perhatian konsumen. Apa yang sebenarnya mendorong perusahaan ini untuk menggunakan sadvertising sebagai strategi pemasaran? Apakah ini suatu bentuk ekspresi kreatif? Atau memang iklan sedih terbukti bisa meningkatkan penjualan produk?

Sebenarnya, belum ada penelitian yang membuktikan bahwa iklan sedih berdampak langsung terhadap peningkatan penjualan. Tapi, berbagai penelitian telah membuktikan bahwa emosi berperan banyak dalam setiap keputusan kita untuk membeli sebuah produk atau menggunakan sebuah jasa. Iklan sedih merupakan bagian dari emotional marketing yang telah terbukti efektif sebagai alat bisnis.

Menurut studi yang dilakukan Nielsen Consumer Neuroscience tahun 2016, iklan yang bisa membangkitkan emosi audiens mampu meningkatkan penjualan sebesar 23 persen. Angka ini diperoleh setelah mengukur aspek emosi yang meliputi perhatian yang mereka berikan, emotional engagement, dan ingatan yang tertanam dari produk tersebut.

Emotional marketing bisa membangkitkan engagement dan membuat brand menjadi lebih diingat. Menurut Nicole Coleman, asisten profesor Administrasi Bisnis di University of Pittsburgh, penggunaan emosi negatif seperti kesedihan atau ketakutan bisa berdampak positif terhadap emosi yang diasosiasikan terhadap sebuah brand. Emosi negatif ini sengaja dimunculkan untuk memberikan pesan bahwa produk mereka bisa diandalkan ketika konsumen sedang menghadapi kesulitan. Selain itu, ia mengatakan penggunaan emosi bisa memberi kesan autentisitas dari sebuah brand, bahwa brand memiliki 'nyawa' dan bukan sekadar bisnis dan angka.

Iklan-iklan sedih ini adalah usaha perusahaan untuk membangun kedekatan emosional dengan konsumen. Tak bisa dimungkiri, iklan-iklan ini menawarkan sensasi yang baru dan tentu saja, menghibur. Tapi, meski ia bisa menggugah emosi, tetap saja kita harus mengingat bahwa ini adalah strategi pemasaran.

[Gambas:Audio CXO]



(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS