Insight | General Knowledge

Bagaimana 'Social Justice Warrior' Berubah Menjadi Hinaan?

Jumat, 11 Mar 2022 12:00 WIB
Bagaimana 'Social Justice Warrior' Berubah Menjadi Hinaan?
Ilustrasi Social Justice Warior Foto: Clay Banks/Unsplash
Jakarta -

Media sosial telah menjadi ruang bagi banyak orang untuk berkeluh kesah, tak terkecuali saya sendiri. Terkadang, keluh kesah itu bisa berupa opini mengenai isu-isu terkini. Tapi, beberapa kali saya mengurungkan niat untuk beropini, lantaran takut dicap sebagai "SJW" atau Social Justice Warrior. Memang, dalam sehari-hari istilah SJW telah menjadi hinaan.

Saking populernya istilah ini, Social Justice Warrior telah secara resmi dimasukan ke dalam kamus. Berdasarkan Oxford Dictionaries, definisi dari Social Justice Warrior adalah seseorang yang mengekspresikan atau mempromosikan perspektif sosial yang progresif. Menariknya, meskipun definisi ini tidak mengandung konotasi yang negatif, Oxford Dictionary mengkategorikan Social Justice Warrior sebagai kata benda yang bersifat merendahkan.

Social Justice Warrior atau SJW telah menjadi peyorasi, yaitu kata yang mengalami perubahan makna menjadi buruk. SJW kini menjadi label yang diberikan kepada siapapun yang kerap berpartisipasi dalam perdebatan panjang dan panas mengenai isu seputar ketidakadilan sosial. Blogger, aktivis, akademisi, penulis, bahkan orang awam pun kini bisa dicap sebagai SJW, ketika mereka mengeluarkan opini bernada political-correctness. Sederhananya, siapapun yang berusaha mengekspresikan pandangan mereka mengenai keadilan sosial rentan mendapat label sebagai SJW.

Individu-individu yang dilabeli sebagai SJW diperkirakan memiliki ciri-ciri tertentu; di antaranya tidak bisa diajak berdialog secara sehat, agresif, menggunakan retorika dalam berkata-kata, dan merasa dirinya adalah individu yang paling menjunjung tinggi moral. Tentu saja, ciri-ciri ini merupakan stereotip. Setiap kali istilah SJW dilemparkan untuk menghina orang lain, stereotip ini mengikuti. Namun, bagaimana sebuah istilah yang bermakna netral, bahkan cenderung baik, kini justru menjadi hinaan?

.Ilustrasi Social Justice Warior/ Foto: Rodnae Production/pexels

Nyatanya, satu dekade yang lalu istilah SJW masih baik-baik saja. Melansir The Washington Post, perubahan konotasi pada SJW dimulai pasca skandal Gamergate yang terjadi di tahun 2014. Gamergate merupakan serangkaian kampanye kebencian daring yang memojokkan dan melecehkan gamer dan jurnalis perempuan. Ada dua orang yang menjadi pusat dari gamergate dan menerima pelecehan online, yaitu Zoe Quinn dan Anita Sarkeesian.

Zoe Quinn merupakan seorang developer game Depression Quest. Konflik yang menimpanya dimulai ketika muncul sebuah unggahan blog mengenai dirinya yang ditulis oleh Eron Gjoni, mantan kekasih Zoe. Eron yang berprofesi sebagai jurnalis gaming, menuduh Zoe melakukan hubungan seksual dengannya dan para profesional lain di industri gaming agar game yang ia buat mendapat ulasan yang baik. Banyak yang akhirnya menelan mentah-mentah unggahan Eron dan membumbuinya dengan narasi korupsi dalam industri gaming. Zoe pun menjadi target kebencian online.

Sementara itu, Anita Sarkeesian yang merupakan kritikus media sekaligus pendiri dari Feminist Frequency, menjadi target pelecehan online setelah mempublikasikan seri video berjudul Tropes Vs Women in Video Games. Dalam video ini, Anita mengkritik karakter perempuan dalam video game yang bias gender. Setelah merilis video ini, Anita menjadi target dari ancaman pembunuhan dan pelecehan.

.Ilustrasi SJW/ Foto: Thirdman/Pexels

Para online trolls yang menargetkan Zoe dan Anita menggunakan tagar #Gamergate dalam melakukan kampanye kebencian mereka. Mereka berdalih, karena tak ingin industri gaming 'dirusak' atau 'diganggu' oleh agenda politik. Padahal, dalam bentuk aslinya Gamergate adalah kampanye yang seksis dan melecehkan.

Melalui peristiwa di atas, kita bisa melihat bagaimana perubahan konotasi pada istilah SJW berakar dari kebencian terhadap kelompok minoritas, dalam kasus ini perempuan. Hari ini, SJW bisa digunakan dalam konteks apapun, dalam perdebatan mengenai ras, gender, hingga kelas sosial. Konotasi dari SJW yang telah berubah membuat kata ini menjadi berbahaya. Ia bisa mengaburkan kebenaran terhadap suatu peristiwa, dan berakibat pada pembunuhan karakter. Sebab, label ini bisa digunakan untuk menyerang individu-individu yang memang memiliki kepedulian terhadap suatu isu.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS