100 tahun berlalu sudah sejak feminisme mulai menampakkan diri di Indonesia. Tokoh-tokoh pemikir perempuan seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Maria Walanda Maramis sudah menjadi pahlawan nasional, dan gagasan-gagasan mereka telah diabadikan. Hari ini, gerakan feminisme telah menjadi global movement yang cair dan tanpa mengenal batas wilayah. Salah satunya, ditandai dengan Hari Perempuan Internasional yang diperingati dengan aksi Women's March di berbagai negara.
Di Indonesia, gerakan feminisme juga telah menjadi semakin masif. Salah satu pencapaian gerakan feminisme bisa dilihat melalui advokasi kebijakan. Di ranah politik, ada UU No. 10 Tahun 2008 tentang kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen bagi partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Selain itu, beberapa tahun terakhir kita juga melihat perjuangan untuk meloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Meski melalui banyak tantangan dan perdebatan, RUU ini akhirnya disahkan menjadi inisiatif DPR sebagai RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Tapi, terlepas dari capaian-capaian ini, masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh gerakan feminisme.
Perempuan menuntut pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual/ Foto: Detik |
Feminisme di Era Digital
Selama lima tahun terakhir, kita telah menyaksikan bagaimana media sosial turut berperan dalam mengamplifikasi perjuangan perempuan. Salah satunya, ketika media sosial menjadi ruang alternatif bagi perempuan untuk mengungkap pelaku pelecehan seksual. Misalnya, akun @aliskamugemash di Instagram dibuat untuk mengekspos seorang predator seksual yang berkeliaran di aplikasi kencan. Akun ini mengungkap identitas pelaku, modus pelaku, dan apa saja yang ia lakukan terhadap korbannya.
Lewat media sosial juga, diskusi mengenai ide-ide feminisme menjadi lebih hidup. Dengan bantuan media sosial, gagasan mengenai feminisme bisa menjangkau banyak orang, terutama generasi muda. Kita pun menjadi lebih familiar dengan sosok-sosok feminis kontemporer Indonesia seperti Lailatul Fitriyah, Intan Paramaditha, dan Kalis Mardiasih. Namun, di ruang digital ide-ide feminisme sendiri juga mendapat banyak penolakan.
Di ruang digital, label "feminis" kini justru bernada cacian ketimbang pujian. Di media sosial, ada banyak kelompok yang secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap feminis, bahkan cenderung membenci feminis. Salah satunya, akun Twitter anonim @txtdarifeminis yang rutin mengunggah screenshot opini bernada feminis lalu mengolok-ngoloknya. Tak hanya itu, beberapa pengguna perempuan dilabeli oleh akun ini sebagai feminis, juga kerap mendapat ujaran kebencian dan doxxing.
Feminisme/ Foto: Alina Blumberg/Pexels |
Masalahnya, akun anonim seperti @txtdarifeminits berdalih yang mereka lakukan adalah mengkritik pemahaman feminisme yang keliru. Padahal, tangkapan layar yang mereka unggah seringkali tidak menggambarkan logika feminisme. Menurut Ann Putri, penulis Remotivi, akun anonim seperti @txtdarifeminist adalah bagian dari ekosistem daring yang merawat kebencian terhadap perempuan. Sebab, yang mereka lakukan bukan mengkritik gerakan feminisme, melainkan anti-feminisme.
Akun anonim seperti @txtdarifeminis hanyalah puncak dari gunung es. Di media sosial, ujaran kebencian terhadap feminis juga banyak datang dari akun-akun personal. Misalnya, seringkali kita menemukan apabila ada seseorang yang mengemukakan opini berbau feminisme, akan ada pengguna-pengguna yang melabelinya sebagai "SJW feminist".
Hal ini menandakan bahwa meskipun gerakan feminisme nampaknya sudah semakin masif dan semakin kuat, nyatanya masih ekosistem yang melanggengkan pola pikir misoginis masih tumbuh subur. Bahkan eksistensi mereka semakin menguat, karena mereka bisa bersembunyi dibalik akun anonim di media sosial. Akun-akun ini bahkan tak segan untuk melakukan pelecehan atau perisakan di ruang digital.
Ilustrasi feminis/ Foto: Tima Miroshnichenko/Pexels |
Gelombang Anti-Feminisme
Peliknya mendiskusikan feminisme di ruang digital adalah gejala dari tantangan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di dunia nyata. Di dunia nyata, gerakan feminisme kerap mendapat penolakan dari kelompok konservatif. Salah satu contohnya, adalah ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang mengatur pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.
PKS menolak karena mereka menganggap definisi kekerasan seksual berperspektif liberal, tidak sesuai dengan nilai Pancasila. Sehingga, dikhawatirkan akan bersikap permisif terhadap perilaku seks bebas dan menyimpang. Ini adalah kedua kalinya PKS menolak kebijakan yang bertujuan untuk mencegah kekerasan seksual. Sebelum ini, PKS juga menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan alasan yang sama.
Logika yang digunakan kelompok konservatif mengasumsikan bahwa feminisme muncul dari Barat dan tidak cocok dengan budaya Timur. Logika ini sebenarnya kurang tepat. Cendekiawan Islam Lailatul Fitriyah mengatakan, feminisme sebenarnya selaras dengan ajaran agama-agama dunia, termasuk Islam, Kristen, bahkan ateisme. Sebab, yang diperjuangkan oleh feminisme ialah kesetaraan gender sehingga gerakan ini bersifat inklusif. Ketika feminisme dikotak-kotakkan menjadi Barat-Timur, maka misi dari feminisme untuk membangun masyarakat yang inklusif akan gagal.
Ilustrasi anti-feminisme/ Foto: Pavel Danilyuk/Pexels |
Munculnya gelombang anti-feminisme ini di satu sisi menunjukkan perjuangan gerakan feminisme masih panjang. Semakin kuat gerakan ini, semakin kuat juga penolakan yang muncul terhadapnya. Namun di sisi lain, penolakan terhadap feminisme juga bisa menjadi refleksi terhadap gerakan feminisme itu sendiri. Mungkin, ini bisa menjadi momentum bagi kita untuk bertanya, apakah gerakan feminisme sudah mampu merangkul semua orang? Serta, apa saja yang bisa kita lakukan untuk memperkuat gerakan ini dari dalam?
Di masa sekarang, mudah bagi kita untuk mengambil kesimpulan instan mengenai feminisme lewat perdebatan media sosial. Padahal, feminisme jauh lebih besar dari itu. Meski jumlah pendukung gerakan feminisme telah bertambah, tantangan yang dihadapi ke depannya masih banyak. Salah satunya, menghadapi gelombang anti-feminis yang muncul. Untuk itu, gerakan feminisme perlu menjadi lebih solid dan inklusif. Sebab pada akhirnya, kesetaraan gender adalah perjuangan yang melibatkan semua orang dan untuk semua orang.
(ANL/DIR)