Gerakan feminisme di Indonesia telah dilakukan selama bertahun-tahun. Meski gerakan ini telah mengalami banyak kemajuan, tapi hingga hari ini ia masih kerap mendapat penolakan. Kita sering sekali mendengar adanya ungkapan bahwa nilai-nilai yang dibawa feminisme tidak sejalan dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia, utamanya nilai-nilai agama. Hal ini menggambarkan seakan-akan feminisme adalah sesuatu yang datang dari luar, khususnya dari Barat, dan tidak memiliki akarnya sendiri di negara ini. Padahal, masing-masing negara memiliki sejarahnya sendiri dalam hal perjuangan kesetaraan gender.
Sayangnya, mungkin selama ini kita justru lebih familiar dengan gerakan feminisme di Barat ketimbang gagasan yang diutarakan R.A Kartini atau aktivisme yang dilakukan Gerwani. Hal ini sebenarnya wajar, melihat buku-buku sejarah Indonesia cenderung menghapus perjuangan perempuan. Padahal, sepanjang sejarah Indonesia, perempuan memiliki andil besar dalam membangun Indonesia.
Tak hanya itu, gerakan perempuan juga telah tumbuh sejak masa kolonial. Maka dari itu, dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional, kami berupaya melihat kembali perjuangan perempuan dan gerakan feminisme di Indonesia.
Gerakan Wanita Indonesia/ Foto: Suara Indonesia/Wikimedia |
Bermula Sejak Kolonialisme
Berdasarkan studi berjudul Seratus Tahun Feminisme di Indonesia yang diterbitkan oleh yayasan Friedrich Ebert Stiftung, gagasanĀ feminisme sudah ada di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan atau pada masa kolonialisme. Secara garis besar, pemikiran perempuan bisa dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode kolonialisme, periode pasca kemerdekaan, periode Orde Baru, hingga periode Reformasi.
Di masa kolonialisme, perempuan tak hanya berpartisipasi dengan mengangkat senjata melawan penjajahan. Kala itu, senjata lain yang dimiliki perempuan adalah pena dan kertas. Sebab dengan menulis, mereka berani mengemukakan gagasan yang mampu memperbaiki kondisi hidup perempuan. Kita tahu bahwa emansipasi perempuan semakin menemukan jalannya ketika R. A. Kartini menulis surat-surat yang akhirnya dikompilasikan menjadi sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Dalam surat-suratnya ini, Kartini berpendapat bahwa tradisi dan budaya masyarakat telah membelenggu perempuan.
Baca Juga : Peran Perempuan dalam Mengatasi Krisis Iklim |
Perempuan tak diberi kesempatan untuk berpartisipasi di ruang publik, dan di ranah domestik pun mereka harus tunduk kepada suami. Perempuan menjadi sangat bergantung pada laki-laki, dan tidak memiliki otonominya sendiri. Pendidikan, menurut Kartini, menjadi satu-satunya cara untuk membebaskan perempuan agar mereka bisa mandiri.
Selain Kartini, Rohana Kudus adalah tokoh lainnya yang menggunakan tulisan sebagai alat perlawanan. Rohana yang lahir di Sumatera Barat merupakan wartawan perempuan pertama di Indonesia. Ia mendirikan surat kabar Soenting Melajoe, surat kabar yang diperuntukkan untuk penulis perempuan dan pembaca perempuan. Kartini dan Rohana hanyalah dua dari sekian banyak tokoh perempuan yang memperjuangkan kesetaraan gender di masa itu. Tapi salah satu capaian pada masa kolonial adalah diadakannya Kongres Perempuan pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta. Ada tiga isu utama yang dibicarakan di kongres pada saat itu, yaitu perkawinan, poligami, dan akses ke pendidikan.
RA Kartini/ Foto: Detik |
Mati dan Hidup Kembali
Pasca kemerdekaan, gerakan perempuan menjadi kian masif. Pada tahun 1950an, berdiri sebuah organisasi bernama Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Mengutip Jurnal Perempuan, Gerwani adalah pelopor gerakan feminis-sosialis terbesar di Indonesia. Beberapa advokasi yang dilakukan Gerwani adalah menolak UU Perkawinan yang diskriminatif, menuntut upah yang adil bagi buruh perempuan, serta menuntut pembagian kerja yang adil di ranah domestik.
Sejarah mencatat Gerwani sebagai gerakan feminisme paling progresif dan revolusioner di Indonesia. Pada tahun 1965, jumlah anggotanya diperkirakan mencapai 1,5 juta orang. Sayangnya, afiliasi Gerwani dengan PKI membuat Gerwani menjadi sasaran propaganda. Para anggotanya dicap sebagai perempuan berbahaya, bahkan dituduh ikut menyiksa dan membunuh jenderal-jenderal pada peristiwa G30S.
Pembantaian yang dilakukan pada masa 1965-1966 bukan hanya membunuh anggota-anggota Gerwani, tapi juga membunuh gerakan feminisme yang pada masa itu sedang tumbuh kuat-kuatnya. Di masa Orde Baru, hanya ada satu organisasi perempuan yang diperbolehkan oleh negara, yaitu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) di tingkat desa. Perempuan di era Orde Baru mengalami domestikasi, sebab peran perempuan dibatasi di tingkat keluarga.
Ibu-ibu PKK/ Foto: Komunitas Bambu |
Mendekati masa reformasi, gerakan perempuan kembali menemukan nafasnya. Salah satu tandanya adalah dengan keberadaan komunitas Suara Ibu Peduli yang melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk kritik terhadap rezim Orde Baru. Di titik ini, para perempuan merebut kembali makna kata "ibu-ibu" dan menjadikannya sebagai titik tolak perlawanan mereka.
Dengan menggunakan identitas "ibu", mereka mendobrak batasan antara ruang publik dan ruang domestik yang selama ini mendikte perempuan. Mereka membuktikan, bahwa hal-hal yang bersifat personal dan domestik juga sebenarnya bersifat politis. Tak hanya itu, kebangkitan perempuan juga ditandai dengan berdirinya Komnas Perempuan pada tahun 1998.
Rangkaian peristiwa bersejarah di atas hanya penggalan-penggalan dari gerakan yang panjang dan kompleks. Namun ia membuktikan satu hal: feminisme bukanlah sesuatu yang berasal dari luar. Feminisme hadir di setiap perjuangan perempuan untuk mendapat keadilan. Bagi perempuan Indonesia, perjuangan tersebut telah dilakukan bahkan sejak masa kolonialisme. Sudah sepatutnya sejarah mencatat hal tersebut.
(ANL/DIR)