Industri pariwisata seringkali digadang-gadang sebagai tulang belakang yang menggerakkan perekonomian, terutama bagi negara yang industrinya masih berkembang, seperti Indonesia. Di Indonesia, pariwisata telah menjadi salah satu 'anak kesayangan' dari program pemerintah. Misalnya saja, tahun 2021 Presiden Jokowi menganggarkan Rp 14,4 triliun untuk membangkitkan pariwisata pasca pandemi. Tak hanya itu, pemerintah juga mulai membangun ekosistem pariwisata di daerah selain Bali, contohnya yaitu kehadiran wisata premium di Labuan Bajo.
Sisi Gelap Industri Pariwisata
Dalam esainya yang berjudul "Is Tourism a Poverty Trap?" (2017), Geert Vansintjan mengatakan bahwa industri pariwisata justru bisa menyebabkan masyarakat lokal terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Pasalnya, ketika industri pariwisata mendominasi perekonomian suatu wilayah, secara otomatis lapangan pekerjaan yang tersedia akan terkonsentrasi di bagian pelayanan dan jasa-ia tak memberikan ruang bagi sektor ekonomi lain untuk tumbuh. Masyarakat setempat pun akan mendedikasikan pekerjaan mereka untuk "melayani" turis, dengan pendapatan yang rendah.
Klaim bahwa industri pariwisata bisa menjadi jalan keluar bagi masyarakat untuk keluar dari kemiskinan tidak terbukti. Hal ini bisa kita lihat, misalnya, dari kasus wisata Candi Borobudur. Meski Candi Borobudur telah menjadi warisan budaya dunia dan telah menjadi salah satu destinasi wisata paling populer, warga dari tiga desa di sekitar Borobudur hidup dalam kemiskinan.
Tak hanya dari segi ekonomi, industri pariwisata dalam skala besar, atau mass tourism, juga terbukti memiliki dampak terhadap sumber daya alam lingkungan. Di Bali, misalnya, terjadi kelangkaan air bersih karena lebih banyak dialokasikan untuk wisatawan. Dikutip dari WALHI, satu kamar hotel di Bali bisa menghabiskan hingga 3000 liter air per hari, sementara masyarakat hanya menghabiskan 200 liter per orang per hari. Tak hanya Bali, masyarakat Baduy bahkan mengajukan permohonan kepada Presiden Jokowi untuk menghapus Baduy dari objek destinasi wisata. Sebab, kehadiran pariwisata telah merusak lingkungan Baduy.
Tak hanya di Indonesia, praktik pariwisata yang destruktif juga terjadi di negara-negara lain. Di Spanyol, dampak negatif industri pariwisata terhadap kehidupan komunitas lokal memicu gerakan dari kelompok "anti-tourism" yang beberapa kali menggunakan kekerasan dalam aksinya. Di Kota Barcelona, yang setiap tahunnya menerima 32 juta turis, sebuah bus pariwisata dirusak bannya dan dicoret dengan grafiti oleh para aktivis "anti-pariwisata" ini. Meski aksi mereka kontroversial, tapi gerakan ini telah memicu serangkaian perdebatan mengenai praktik industri pariwisata yang semakin mengkhawatirkan.
Mempertimbangkan Pariwisata Berkelanjutan
Merespon kritik terhadap industri pariwisata, muncul beberapa opsi alternatif yang menargetkan kelompok tertentu, misalnya luxury tourism atau pariwisata kelas premium. Luxury tourism dipercaya bisa menjadi antitesis mass tourism lantaran hanya mengakomodasi turis dalam jumlah yang sedikit, sehingga dampaknya tidak akan terlalu merusak. Pun sekarang sudah banyak fasilitas wisata premium yang menggunakan label ramah lingkungan. Nyatanya, pariwisata premium tidak serta merta menghilangkan dampak buruk praktek pariwisata yang eksploitatif. Hal ini terjadi di Maldives yang telah menjadi salah satu destinasi wisata premium terpopuler. Maldives dipenuhi dengan resor bintang lima, namun banyak dari pekerjanya tidak menerima upah.
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pariwisata berkelanjutan, dan bagaimana cara mewujudkannya? Pada dasarnya, pariwisata berkelanjutan adalah praktik pariwisata yang bertanggung jawab. World Tourism Organization mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai pariwisata yang mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan, terhadap kebutuhan wisatawan dan masyarakat lokal. Berdasarkan definisi ini, ada tiga pilar utama yang menunjang pariwisata berkelanjutan, yaitu 1) pelestarian lingkungan, 2) pelestarian warisan budaya, dan 3) penyediaan keuntungan sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal.
Banyak orang mengira pariwisata berkelanjutan sama dengan ecotourism. Hal ini tidak sepenuhnya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya tepat. Sebab, pariwisata berkelanjutan tidak terbatas pada praktek ecotourism. Pelestarian cagar budaya, misalnya, juga bisa tergolong sebagai bentuk pariwisata berkelanjutan.
Industri pariwisata yang telah menjadi bagian dari ekonomi dunia sulit untuk diubah apabila tidak ada kesadaran global. Meski demikian, sebagai wisatawan, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk mendukung pariwisata berkelanjutan. Dilansir dari National Geographic, beberapa langkah tersebut di antaranya:
- Memilih untuk bepergian dengan kereta, dan bukan dengan pesawat. Pilihan ini bisa mengurangi jejak karbon dari kegiatan wisata.
- Membawa botol minum sendiri. Dengan membawa botol minum, kita bisa mengurangi pemakaian air minum kemasan yang menyumbang sebagian besar sampah plastik.
- Mendukung ekonomi lokal. Tidak semua sektor usaha di tempat wisata dimiliki oleh warga lokal, sebagian besar merupakan bisnis dari perusahaan pariwisata. Oleh karenanya, kita bisa memilih untuk membeli atau menggunakan jasa dari usaha yang dikelola secara langsung oleh masyarakat lokal.