Di negara-negara Asia, perempuan yang menikah dengan orang kulit putih seringkali dianggap sebagai suatu pencapaian. "Untuk memperbaiki keturunan," katanya. Kita sudah terlalu lama diajarkan bahwa ras kulit putih lebih superior, sehingga akibatnya kita pun mengamini bahwa ras Asia adalah ras yang lebih inferior. Ini merupakan warisan kolonial yang dampaknya masih bisa kita rasakan hingga sekarang. Dampak yang kadang tersamarkan sebagai "preferensi" ketika memilih pasangan.
Tapi "preferensi" ini tidak terjadi secara satu arah, yaitu dari perempuan Asia yang mengidam-idamkan suami bule. Tapi juga dari pria kulit putih yang mengidam-idamkan istri Asia. Dalam masyarakat Barat, preferensi ini disebut sebagai yellow fever. Namun, yellow fever bukan sekedar preferensi. Ia menyimpan masalah yang lebih dalam, yaitu fetisisme rasial.
Namun, seperti apa sebenarnya wujud dari yellow fever dan mengapa ia merupakan bentuk dari fetisisme rasial? Fetisisme terjadi ketika kita menjadikan seseorang sebagai objek dari hasrat seksual berdasarkan aspek tertentu dari identitas mereka. Dalam kasus yellow fever, yang dijadikan fetish adalah identitas rasial perempuan Asia. Yellow fever merupakan perwujudan dari cara pandang masyarakat Barat terhadap masyarakat Timur, yang terinternalisasi dan keluar dalam bentuk preferensi pasangan.
Sebuah riset menunjukkan bahwa laki-laki di aplikasi kencan lebih memilih perempuan Asia. Ada berbagai alasan mengapa mereka memiliki preferensi tersebut. Misalnya, dalam banyak kasus kita menemui laki-laki kulit putih yang mengaku lebih menyukai perempuan Asia karena mereka feminin dan eksotis. Sekilas alasan-alasan ini terdengar seperti pujian. Tapi di balik pujian ini, ada imajinasi terhadap perempuan Asia yang dibangun berdasarkan stereotip rasial. Dalam imajinasi laki-laki kulit putih, semua perempuan Asia memiliki sifat lemah lembut, . Dalam imajinasi laki-laki kulit putih, kulit perempuan Asia yang lebih gelap merupakan sebuah keeksotisan. Padahal, kata "eksotis" sebenarnya bukan pujian.
Dikutip dari Contemporary Racism, kata "eksotis" kerap digunakan oleh orang kulit putih untuk mendeskripsikan seseorang yang tidak sesuai dengan standar kecantikan Barat; berkulit putih, berambut lurus, bermata biru, berbadan ramping. Kata yang berkedok sebagai pujian ini juga lebih sering digunakan untuk merujuk women of color. Sehingga, ada sentimen rasial dalam kata ini. Perempuan Asia yang sering di-"eksotis"-kan oleh laki-laki kulit putih menjadi korban ganda di sini; pertama yaitu korban male-gaze yang menempatkan mereka sebagai objek seksual dan kedua yaitu korban dari stereotip yang mengakar dari rasisme.
Lalu, apakah semua preferensi menyimpan fetisisme rasial? Melansir SBS, fetisisme rasial berbeda dengan "memiliki preferensi" karena ia mereduksi identitas seseorang berdasarkan ras mereka. Dalam yellow fever, imajinasi akan perempuan Asia yang stereotipikal menjadi satu-satunya pegangan bagi laki-laki kulit putih untuk mencari pasangan Asia. Aspek-aspek identitas di luar ras menjadi tidak berarti bagi mereka yang memiliki yellow fever, karena hal pertama yang mereka lihat adalah rasnya. Preferensi sendiri bisa disebabkan oleh berbagai hal yang membentuk diri kita ketika tumbuh besar, ia tak selalu berakar dari rasisme. Meskipun demikian, batas antara preferensi rasial dengan fetisisme rasial sangat tipis, sebab fetish bisa dengan mudah disamarkan menjadi preferensi.
Fetisisme rasial mungkin sekilas nampak seperti perilaku yang masih bisa ditoleransi, dibanding misalnya dengan mendiskriminasi atau menindas seseorang karena warna kulitnya. Tapi, ia bisa jadi lebih merugikan dari perilaku rasis yang lain, karena lebih sulit untuk diidentifikasi dan bisa disalahpahami sebagai bentuk pujian.
(ANL/MEL)