Ketika saya masih SMA, orang tua saya sedikit kecewa saat saya memutuskan untuk masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ayah saya yang dulu adalah seorang anak Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) semasa sekolah, kerap membanggakan bahwa jurusan yang dipilihnya lebih baik dari IPS. Katanya, bila masuk jurusan IPA akan lebih menguntungkan karena bila lulus kelak akan mudah memilih jurusan ketika kuliah. Tapi ayah saya tak sendirian. Di luar sana, banyak orang tua yang berharap anaknya masuk jurusan IPA.
Entah mengapa alasannya, seperti ada semacam kesepakatan tidak tertulis bahwa jurusan yang berhubungan dengan sains ini lebih baik daripada jurusan IPS dan Bahasa. Banyak stereotip yang beredar sejak dulu bahwa Anak IPA lebih pintar dan teladan, sedangkan anak IPS dicap lebih bodoh dan urakan. Bahkan jurusan Bahasa lebih parah, karena kerap dilupakan dan dipandang tidak memiliki masa depan. Entah dari mana asalnya stigma itu. Yang jelas, sudah banyak pelajar yang terdampak karenanya.
Tak heran, publik langsung ramai berkomentar ketika muncul wacana pemerintah untuk memberlakukan "Kurikulum Prototipe" yang akan diimplementasikan tahun ini. Sebab, kurikulum tersebut didesain untuk menghapus sekat penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Namun, perlu dicatat bahwa kurikulum ini bersifat opsional.
Nantinya, akan ada dua klaster yaitu mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran wajib terdiri dari Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Seni Musik, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, serta Sejarah. Sedangkan untuk mata pelajaran pilihan siswa harus memilih kombinasi dari dua rumpun, antara kombinasi IPA-IPS maupun IPA-Bahasa. Secara garis besar, kurikulum ini tidak berbeda jauh dengan Kurikulum 2013 yang juga sudah membagi mata pelajaran wajib, peminatan, dan lintas minat. Hanya saja, penghapusan sekat jurusan IPA, IPS, dan Bahasa menjadi lebih terlihat.
Meski secara substantif kurikulum 2022 tidak akan jauh berbeda dari kurikulum 2013, tapi penghilangan sekat penjurusan ini bisa berdampak besar terhadap stigma dan label yang selama ini disematkan terhadap penjurusan IPA, IPS dan Bahasa.
Adanya penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa memang dimaksudkan untuk memudahkan pelajar mendalami minatnya dan siap memasuki dunia perkuliahan. Namun, efek samping dari penjurusan ini adalah timbulnya sekat di antara ilmu-ilmu tersebut. Sekat menimbulkan distingsi, dan distingsi menimbulkan hierarki--cepat atau lambat akan ada yang dianggap lebih baik daripada yang lainnya. Tetapi sekat ini tak hanya terjadi di masa sekolah, tapi juga dalam lanskap keilmuan secara umum.
Penulis dan peneliti dari Inggris, C.P Snow pernah mengatakan bahwa dalam masyarakat modern terjadi cultural divide antara science dengan arts and humanities. Padahal realitanya, dua cabang besar keilmuan ini seringkali beririsan satu sama lain, sehingga tidak seharusnya dikotak-kotakkan. Dunia pendidikan seharusnya bisa menjembatani Ilmu alam dan ilmu sosial. Penghilangan sekat penjurusan di sekolah ini bisa menjadi langkah awal untuk mencapai hal tersebut.
Wacana Kurikulum 2022 ini mendapatkan berbagai macam reaksi dari para ahli. Dosen Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta, Ariswan, mengatakan bahwa hal ini bisa mendorong kemajuan pendidikan Indonesia. Sebab selain menghilangkan pengkastaan, sistem ini bisa membuat siswa lebih leluasa dalam menavigasi bidang yang ia minati. Tapi di satu sisi, menurutnya kurikulum ini harus memiliki pedoman pelaksanaan yang jelas agar bisa diterapkan sesuai fungsinya. Supaya nantinya, pihak sekolah juga tahu bagaimana membimbing siswanya agar bisa memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan pilihan karier. Sehingga, para siswa juga tidak kebingungan ketika harus memilih mata pelajaran yang akan mereka tekuni.
Pelaksanaan Kurikulum Prototipe ini pun sangat bergantung pada kesiapan dari tenaga pengajar. Sebab, tenaga pengajar lah yang akan langsung implementasi kurikulum ini. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi mengatakan, pemerintah perlu mengedepankan keterbukaan dan akses sebesar-besarnya bagi tenaga pengajar agar dilibatkan dalam perancangan kurikulum baru ini. Apalagi selama ini, uji coba kurikulum baru hanya melibatkan sekolah-sekolah tertentu saja. Lebih lanjut lagi Unifah mengatakan, pemerintah harus memberi perhatian lebih untuk memberi pelatihan berkelanjutan bagi tenaga pengajar, alih-alih mengubah kurikulum selama beberapa tahun sekali.
Semenjak menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim memang menawarkan program Merdeka Belajar sebagai salah satu program utama yang ia tawarkan untuk memajukan pendidikan Indonesia. Kurikulum Prototipe yang menurutnya lebih fleksibel ini ia harapkan selain bisa memberikan keleluasaan bagi siswa, juga memberikan keleluasaan bagi guru-guru. Namun seperti yang dikatakan Ariswan dan Unifah, pedoman dan pelatihan bagi tenaga pengajar juga jangan sampai terlupakan. Sebab tenaga pengajar lah yang sebenarnya paling memahami, tantangan apa yang dialami baik oleh mereka sendiri maupun siswa-siswi di sekolah. Sistem Pendidikan Indonesia memang masih memiliki banyak pekerjaan rumah, dan Kurikulum Prototipe ini mungkin adalah perubahan yang kita butuhkan. Tapi, jangan sampai visi program ini melempem di tengah jalan karena ketidaksiapan untuk menjalaninya.