Sejak bermulanya kehidupan, manusia telah menatap ke langit untuk mencari pertanda. Mulai dari nelayan yang mencari arah pulang, petani yang memprediksi musim hujan, hingga para pemuka agama yang memprediksi waktu untuk mengadakan ritual, langit tampaknya menjadi tempat untuk mencari jawaban bagi manusia. Astrologi, atau ramalan bintang, juga menjadi salah satunya. Berbeda dari astronomi yang dianggap sebagai ilmu perbintangan, astrologi merupakan tafsir dari perbintangan, dengan menginterpretasikan dampak dari pergerakan benda langit dan planet terhadap takdir manusia.
Meski dianggap sebagai pseudosains, jutaan orang masih memegang prinsip-prinsip astrologi untuk membaca hal-hal yang mereka alami sehari-hari. Namun, sejak kapan manusia mempercayai astrologi? Dan apa yang melatarbelakanginya? Bagaimana sebuah ilmu ramalan yang bermula ribuan tahun lalu, bisa bertahan hingga kini di zaman modern yang kian melaju? Untuk menjawabnya, mari kita telusuri jejak-jejak astrologi dalam berbagai peradaban kuno dunia.
Bermula di Mesopotamia
Para peneliti sejarah menyebut bahwa jejak-jejak awal astrologi bermula di Mesopotamia, tepatnya di kekaisaran Assyria dan kota Babilonia, yang hari ini telah menjadi negara Irak. Hal ini dimuat oleh Michael Baigent dalam bukunya yang berjudul Astrology in Ancient Mesopotamia. Pada masa itu, konteks dari kebudayaan Mesopotamia sendiri merupakan percampuran antara spiritualitas, ilmu magis, agama, dan politik. Masyarakat Babilonia percaya bahwa dewa matahari mereka, Shamash; dewa bulan mereka, Sin; dan dewi matahari pagi, Ishtar, memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan di Bumi. Dalam bukunya, Michael menjelaskan bagaimana astrologi di Mesopotamia tidak berkaitan dengan kehidupan individu, melainkan kehidupan raja dan negara. Pada tahun 1900 BC hingga 1600 BC, astrologi telah menjadi disiplin ilmu yang sistematis, digunakan hanya oleh para ahli yang sudah ditunjuk untuk menjadi pembaca tanda-tanda perbintangan.
Menurut Clare Gibson, pada tahun 500 BC, masyarakat Babilonia akhirnya memperluas konsep astrologi mereka ke dalam kehidupan personal individu. Mereka percaya bahwa posisi benda-benda langit di masa kelahiran seseorang akan mempengaruhi jalan hidupnya. Salah satu horoskop tertua yang pernah dibuat di Mesopotamia adalah untuk seorang bayi yang lahir pada 29 April, 410 BC.
Tradisi Mesopotamia ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk India dan Yunani Kuno. Dalam tradisi Barat, asimilasi antara astrologi Babilonia dan budaya divination di Yunani Kuno akhirnya melahirkan Hellenistic Astrology. Sesudah Alexander Agung menguasai Babilonia, tradisi hellenistic ini pun akhirnya menyebar juga ke Mesir dan Kekaisaran Roma.
Namun, astrologi tidak hanya berkembang di Barat. Tradisi membaca dan menafsirkan pergerakan benda-benda langit juga merupakan bagian dari budaya di kekaisaran Tiongkok. Bahkan, kalender Tiongkok yang dihitung berdasarkan pergerakan bulan, merupakan salah satu kebudayaan tertua di dunia. Astrologi Tiongkok, diperkirakan bermula di masa Kaisar Huangdi pada tahun 2637 BC. Kaisar Huangdi dan keturunannya bahkan dianggap sebagai keturunan dari dewa-dewa langit, dan bertanggung jawab untuk mengatur kehidupan di bumi. Namun, berbeda dari zodiak Barat, zodiak Tiongkok menggunakan simbol-simbol hewan yang terinspirasi dari legenda agama Buddha.
Berdasarkan perjalanan astrologi dalam sejarah peradaban dunia, dikatakan bahwa prinsip-prinsip astrologi, meski berangkat dari konsep yang sama, telah beradaptasi sesuai dengan kepercayaan masing-masing masyarakat. Mengglobalnya astrologi telah menciptakan berbagai variasi dari ramalan bintang ini. Namun satu hal yang sama, berbagai masyarakat dunia, terlepas dari apapun budayanya, menggunakan astrologi sebagai penghubung antara yang duniawi dan yang surgawi, dan juga sebagai tanda yang membimbing jalannya hidup manusia. Pun kini dengan zaman yang kian modern, astrologi tetap bertahan.
(ANL/MEL)